Lensa69

Reuni Yang Berujung Nikmat

Reuni Yang Berujung Nikmat

Aku terkejut ketika tiba-tiba mendapat sepucuk surat dari seorang teman SMA yang berisi pemberitahuan reuni khusus untuk kelasku di SMA. Reuni rencananya akan diadakan kurang lebih sebulan lagi saat cuti bersama lebaran 1996 sekaligus halal bi halal.

Setiap tahunnya memang kelasku mengadakan pertemuan. Acara akan diadakan di sekitar Jabotabek, karena banyak teman-teman SMA yang berdomisili di Jakarta. Namun karena berbagai pertimbangan akhirnya diputuskan dipindah ke Yogyakarta saja.

Terakhir aku bertemu dengan teman-teman SMA waktu reuni 1990, setahun setelah kami lulus. Setelah itu karena kuliah dan kemudian domisili serta pekerjaanku yang sering berpindah, maka aku tidak pernah ikut lagi.

“Pak Anto, ada telepon. Katanya dari teman bapak sewaktu di SMA,” kata Ita, operator telepon di kantorku sambil melongokkan kepalanya di pintu ruanganku.

“Thanks Ta”.

Kuraih gagang telepon.

“Hallo..”.

“Pak Anto?” terdengar suara di telepon.

“Ya, saya sendiri. Ini siapa?” tanyaku.

“Tok, gila lu. Nyariin lu susahnya melebihi menghadap menteri. Ini Isman. Lu udah dapat pemberitahuan reuni kelas kita belum?”

“Udah, tapi nggak tahu nih. Tahun ini mungkin nggak bisa ikut lagi,” kataku.

“Tahu nggak, anak-anak bilang lu sekarang sombong, beda dengan waktu sekolah. Nggak pernah mau ikut kumpul-kumpul lagi,” kata Isman memvonisku.

Isman memang teman sekolahku yang paling dekat. Selama tiga tahun di SMA kami duduk sebangku. Paling kalau lagi bosan sehari dua hari nomaden cari tempat duduk lain. Habis itu kembali lagi. Kami sering diolok-olok sebagai sepasang kekasih. Anaknya baik dan fair.

Meskipun aku selalu dapat rangking 3 besar, ia tidak pernah memanfaatkanku dengan mencontek secara mentah. Paling ia hanya minta rumusnya saja. Setelah itu ia sendiri yang memasukkan bilangan ke dalam rumus dan mengerjakannya sendiri.

“Bukan begitu Is. Lu kan tahu domisiliku dan pekerjaanku sering berpindah kota. Jadi undangan tidak pernah sampai dan juga kadang tidak bisa ambil cuti”.

“Kali ini usahakan ikut. Banyak yang nanyain tuh. Intan gebetanmu waktu SMA sering jadi sasaran olok-olok teman-teman. Katanya lu nggak mau datang karena patah hati ditolak sama Intan”.

“Ha.. Ha.. Ha. Lu bisa aja. Gua ama Intan masih sering kontak kok. Cuma sebagai sahabat saja. Gua ngerti alasan dia menolakku dulu”.

“Udah ya. Pokoknya kali ini lu mesti datang atau namamu dicoret dari daftar alumni kelas kita”.

“Iya deh, gua usahain,” kataku ragu. Soalnya meskipun pada saat lebaran aku tidak diijinkan mengambil cuti terlalu lama. Cukup libur dua hari tanggal merah saja kata bosku. Memang sebagai kompensasinya aku diberi jatah cuti yang lebih panjang dari biasanya di lain waktu.

Aku ingat masa SMA-ku. Rasa tertarik pada teman wanita ada. Tapi karena sifatku yang cengengesan jadinya mereka menganggap hanya sebagai sebuah canda saja. Akhirnya ketika menjelang lulus, kutembak Intan.

Kurasa ia sebenarnya ada hati juga padaku, namun karena ada suatu perbedaan prinsip ia menolak cintaku. Akupun maklum dengan alasannya dan sampai saat ini kami masih sering kontak baik lewat telepon ataupun surat.

Beberapa hari kemudian aku iseng-iseng ke personalia. Kutanyakan jatah cutiku untuk tahun ini. Ia membuka komputernya dan menatapku sebentar.

“Pak Anto masih punya jatah cuti 10 hari. Kenapa? Mau ambil cuti lagi?” tanyanya.

“Rencananya saya mau ambil cuti pada masa lebaran saja Pak. Udah berapa tahun nggak pernah pulang saat lebaran,” kataku.

“Bapak isi saja formulirnya, nanti kalau kondisinya memungkinkan tentu akan diijinkan,” katanya sambil mengangsurkan formulir permohonan cuti. Setelah kuisi lalu kukembalikan lagi padanya. Tiga hari kemudian aku mendapat konfirmasi bahwa cutiku diberikan sesuai dengan permohonanku.

Akhirnya saat reuni pun tiba. Dalam suasana lebaran begini kami masih bisa mendapatkan tempat di sebuah hotel di Kaliurang. Hebat amat panitianya, pikirku. Ternyata suami seorang teman, Tini, bekerja sebagai manager di hotel tersebut. Pantas saja!

Aku datang sekitar pukul tiga sore. Sengaja kusamarkan penampilanku. Cambang tidak kucukur selama seminggu lebih. Topi yang kulesakkan agak dalam ke kepalaku dan kacamata hitam semakin membuatku yakin tidak ada yang mengenaliku. Ketika ke resepsionis hotel kulirik di lobby telah berkumpul beberapa temanku.

“Mbak, reuni untuk SMA XX benar di sini?” tanyaku.

“Oh ya Pak. Bapak siapa namanya?”

“Anto”.

“Kamar bapak 217, nanti sekamar dengan Pak Isman,” kata resepsionis tadi sambil menyerahkan kunci kamar.

“Ada barangnya Pak?” tanyanya lagi ramah.

“Maturnuwun Mbak. Ah cuma tas kecil saja kok. Saya ke lobby saja dulu Mbak. Nampaknya sudah banyak yang datang tuh,” kataku.

“Silakan Pak Anto. Monggo, Bu Tini juga ada di lobby kok”.

Aku berjalan dengan santai ke lobby. Kulihat di sebuah meja nampaknya ramai dengan gelak tawa. Aku tersenyum saja. Ternyata memang sudah ada beberapa teman laki-laki dan perempuan yang ada dan masih ngerumpi.

Entah karena penampilanku atau karena tidak memperhatikan sekelilingnya kelihatannya mereka tidak memperdulikanku. Aku duduk di meja sebelahnya dengan posisi memunggungi mereka. Kudengar lagi suara bersahutan dan kemudian gelak tawa meledak. Aku tidak tahu persis siapa yang bicara.

“Eh Anto katanya mau datang. Udah lama dia nggak kumpul dengan kita. Udah jadi konglomerat katanya dia di Jakarta.”

“Ah paling dia udah nggak ingat lagi dengan kita-kita. Jelas dia patah hati dengan Intan sehingga dia nggak mau lagi ketemu dengan kita. Takut terkuak luka lama”.

Aku tersenyum saja. Mereka bicara bersahut-sahutan.

“Oh ya, kali ini siapa yang sudah nggak perawan lagi?”

“Husshh, ngaco lu!!”

“Maksudnya udah kawin. Lu aja yang ngeres”.

“Oo. Anto kali ya. Dulu aku sebenarnya mau saja ama dia. Tapi dianya lebih tertarik ke Intan. Aku tentu tak berani bersaing dengan Intan”.

Kali ini pasti suara Desi. Anak ini dulu memang ada perhatian khusus padaku. Tiba-tiba kulihat seseorang berjalan ke arah mereka. Kulirik sekilas, ternyata Isman. Aku pura-pura membaca majalah dengan menunduk. Isman pun segera larut dalam gelak tawa di sebelah. Setelah beberapa lama, mungkin ia baru sadar.

“Eh, mana Anto?”

“Sudahlah. Pacarmu itu nggak akan datang?”

“Kalau saya lihat di daftar booking kamar. Ada kok namanya. Malahan sekamar sama Isman. Biar mereka pacaran lagi,” kata Tini sang tuan rumah.

“Dia sudah datang. Tadi saya ke resepsionis katanya udah ambil kunci dan katanya di lobby. Makanya aku langsung ke sini,” kata Isman dengan nada penasaran.

Ia berdiri dan mengamat-amati tamu yang ada. Ia keluar dari kelompok tadi dan berjalan ke arahku sambil tetap mengamati sekelilingnya. Ia kemudian duduk di depanku dan memperhatikanku.

Ketika bertatapan mata ia hanya mengangguk dan kubalas dengan anggukan kecil tanpa ekspresi. Kelihatannya ia belum mengenaliku, atau ragu-ragu apakah aku benar teman sebangkunya di SMA.

Ia masih penasaran, sesekali melirikku namun kubiarkan saja. Akhirnya ia berdiri dan berjalan ke resepsionis. Kembali dari resepsionis dengan langkah mantap ia menuju ke arahku, berdiri di belakangku dan dengan sekali renggut maka terlepaslah topiku. Teman-teman lainnya yang ada di meja sebelah kelihatan terkejut.

Aku masih diam saja. Ia tarik tanganku sampai aku berdiri dan kemudian tangannya melepas kacamata hitamku. Tangan kanannya memegang tangan kiriku dan mengangkatnya. Kemudian dengan gaya seorang announcer pertandingan tinju ia berteriak.

“Inilah pangeran yang kita nanti-nanti selama ini. Dengan bangga kami persilakan tampil.. Anntoo, the Lost Boy!!”

Dengan tersenyum aku membungkukkan badan. Diam sejenak. Kemudian semuanya menghambur ke arahku. Ada yang memukul lenganku, ada yang mencubit, ada yang mendorong, sayangnya tidak ada yang menciumku.

“Gila anak satu ini. Bisa-bisanya ia duduk manis di sebelah kita. Sementara kita sibuk mencarinya”.

Akhirnya satu persatu semua temanku menyalamiku dengan hangat. Kurasakan semua memang saling sangat merindukan. Bukan aku sombong, tapi waktu masa sekolah dulu selain pintar aku tidak memilih teman. Mungkin satu sifat saja yang kurang disukai teman-teman.

Aku kebanyakan bercanda walau suasana sedang serius. Jadi kalau ada rapat untuk suatu acara, aku tidak pernah jadi panitia. Tapi kalau acara sudah berlangsung, teman-teman akan kehilangan kalau aku nggak ada.

“Emang lu nggak berubah dari dulu. Usil, jahil, iseng de-el-el. Tega lu duduk nguping gosip kita. Gimana kabarnya?” salah seorang temanku bertanya.

“Dengar semuanya. Pasang telinga baik-baik. Aku akan jelaskan semuanya sekaligus sanggahan semua gosip tadi. Aku masih Anto yang dulu, bedanya sekarang cambangnya saja lebat. Aku tidak patah hati karena Intan. Sampai sekarang, mungkin aku yang paling sering kontak dengan Intan. Kalian tahu dua bulan lagi ia akan menikah? Jadi jangan bikin gosip murahan, nanti bisa saya adukan karena mencemarkan nama baik. OK?” kataku dengan nada yang dibuat-buat.

“Aku tidak bisa ikut acara reuni tahunan karena kesibukanku. Untuk itu maafkanlah daku yang hina dina ini!” lanjutku.

“Sudah.. Sudah. Lebih baik sekarang kita istirahat sambil menunggu yang lain. Nanti acara mulai jam tujuh sekalian makan malam,” Tini menyarankan.

Akhirnya kami bubar menuju kamar masing-masing. Aku masuk ke kamar bersama Isman. Sambil berbaring kami saling bercerita tentang kondisi kami masing-masing.

Jam tujuh kurang sedikit kami semua sudah berkumpul di ruangan tempat acara. Dari tiga puluh dua orang yang diundang, ternyata hadir dua puluh lima orang saja. Sebenarnya semuanya ada empat puluh dua, namun beberapa orang sudah hilang jejaknya.

Ada beberapa orang yang membawa suami atau istrinya dan anaknya. Dengan dagu yang licin, cambang sudah kucukur bersih tadi sore dan kemeja santai aku duduk semeja dengan beberapa teman. Isman yang mau bergabung diusir oleh teman lainnya.

“Lu nggak bosen-bosen berdekatan dengan si Anto. Lebih baik lu temenin tuh Ira yang dulu naksir lu. Ia sendirian saja. Suaminya nggak ikut. Sibuk kali kaya pangeran kita di sebelah”.

Dengan gontai Isman berjalan dan mencari meja lainnya. Acara kemudian dimulai. Karena lingkupnya hanya reuni kelas maka suasana dibuat santai dengan permainan. Sepertinya aku dikerjai kali ini. Dalam permainan ini aku sengaja dibuat agar dihukum berpasangan dengan Intan. Ia datang sendiri. Aku hanya tersenyum saja, sementara itu Intan kelihatan sedikit kikuk.

“Tenang saja Intan. Aku tidak akan menelanmu,” bisikku.

“Ahh..”

“Kita kan sudah lebih dewasa. Aku tahu posisi kita. It’s just a game. Teman-teman hanya iseng mau ngerjain kita. Gimana kalau gantian kita yang ngerjain mereka”. Kali ini suaraku kubuat seserius mungkin. Ia hanya diam saja.

Kugenggam tangannya dengan semesra mungkin. Teman-teman lain sudah riuh dan bersorak.

“Gitu dong. Kenapa nggak dari dulu. Pas dan cocok sekali..”

Intan yang tadinya tertunduk malu-malu kini mulai lebih berani. Kelihatannya ia yakin kalau aku tidak akan berbuat macam-macam. Teman-teman memang agak berlebihan mengerjai kami.

Kami disuruh untuk menggigit batang korek api dan memindahkan karet gelang yang digantungkan di batang yang kugigit. Dengan perlahan muka kami saling mendekat dan dengan beberapa gerakan yang agak membuat napas tertahan akhirnya karet gelang sudah berpindah ke batang korek yang digigit Intan.

Semuanya bersorak dan Intan pun menghembuskan napas dalam-dalam seolah melepaskan beban di dalam dadanya.

“Thanks To. Kamu sahabat yang baik,” katanya sambil menyalamiku. Aku hanya tersenyum dan menggerakkan bahu.

Acara demi acara berlangsung dan akhirnya tiba acara makan. Aku mengambil makananku dan mencari tempat yang nyaman untuk menikmatinya. Di sebuah meja agak di sudut, terlihat seorang teman duduk sendirian.

“Siska, kok sendirian saja. Boleh saya duduk di sini?” tanyaku.

“Silakan saja. Untuk kamu semua kursi boleh kamu tempati. Kamulah bintang malam ini,” katanya menggodaku.

“Terima kasih, pakaianku jadi sesak nih,” kataku membalas godaannya.

Siska salah seorang bunga di kelas kami. Kelihatannya agak sombong, namun setelah mengenalnya sebenarnya ia seorang yang ramah dan baik.

Ada beberapa teman baik yang sekelas maupun kelas lainnya yang mencoba mendekatinya, namun mundur teratur ketika mengetahui ia sudah memiliki calon suami mahasiswa kedokteran. Terakhir aku mendengar ia putus dengan dokter-nya dan menikah dengan seorang dosen.

Ternyata teman-teman lainnya tidak ada yang mengambil tempat dan bergabung dengan kami. Kini kami hanya berdua saja.

“Kamu mesra sekali dengan Intan tadi. Aku jadi iri,” ia berkata sambil menatapku.

“Ah, itu kan kerjaan kalian semuanya. Aku hanya menyesuaikan dengan irama permainan kalian saja. Dulu aku mau mendekatimu, tapi kalah dengan sang dokter. Ngomong-ngomong mana suamimu?”

“Sudahlah, itu masa lalu. Hanya indah untuk dikenang. Suamiku lagi tugas belajar ke Jerman. Gimana pacarmu Isman?”.

“Hussh.., tanya saja sendiri”.

“Kamu belum married juga. Gosipnya patah hati dengan Intan ya?”

“Belum ketemu yang cocok saja”.

Akhirnya kami mengobrol dan bercerita tentang diri kami. Ia sudah mempunyai seorang anak dan sekarang lagi dititipkan ke neneknya. Ia mendapat kamar di lantai 2 di ujung koridor, sendirian saja karena teman sekamarnya tidak jadi ikut acara reuni.

Acara berakhir pada jam sepuluh. Beberapa teman belum mau beranjak dan terlihat masih mengobrol. Sebagian lagi sudah keluar dari ruangan dan berpindah ke lobby hotel. Aku ditarik untuk ikut bergabung dengan mereka. Agar tidak mengecewakan maka aku pun berbaur dengan mereka.

Setengah jam kemudian dengan alasan pusing dan lelah, aku berpamitan untuk ke kamar. Toh besok pagi masih ada acara bersama menikmati keindahan alam Kaliurang. Isman sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Katanya ia ada keperluan keluarga dan menginap di rumah saudaranya.

Ketika sampai di lantai dua, kulihat Siska sedang membuka pintu kamarnya. Ia menengok dan melihatku. Ia melambaikan tangan menyuruhku mendekat.

“To, aku sebenarnya belum mengantuk. Tapi males ngobrol di bawah. Terlalu ramai dan riuh. Temani aku ngobrol di teras kamar yuk!”

Aku menurut saja, masuk ke kamarnya dan terus menuju ke teras. Kamarnya masih berantakan. Sampai di teras kami duduk. Siska masuk sebentar dan keluar lagi dengan membawa dua kaleng soft drink. Kami mengobrol sampai pada masalah pribadi.

“Bener kamu belum punya pacar?” tanyanya menyelidik.

“Bener. Apa untungnya aku bohong padamu”.

“Laki-laki biasanya begitu. Katanya belum punya pacar, ternyata anaknya sudah lima”.

“Bener kok. Masih bujangan tulen”.

“Apanya yang bujangan. Kupingmu?!!” katanya terkekeh dan mencibirkan bibirnya.

Topik obrolan beralih ke dirinya.

“Berapa lama suamimu tugas belajar?”

“Tiga tahun. Tadinya aku mau diajak, tapi ibuku tidak mengijinkan. Beliau ingin aku masih di sini”.

“Jadi tiga tahun ini kedinginan dong?” godaku.

Ia diam dan pandangannya menerawang. Ditariknya napas dalam-dalam. Kami saling terdiam. Ia memainkan jemarinya. Aku jadi salah tingkah. Sementara gerimis mulai turun.

“OK deh Sis, aku kembali ke kamarku dulu. Besok pagi masih ada acara lagi,” kataku.

Ia masih diam membeku. Namun kemudian ia berdiri dan meraih tanganku.

“Aku mengenal kamu sebagai orang yang tidak pernah serius. Kali ini aku bicara serius dan aku minta kamu juga menanggapinya serius. Kamu bilang tadi kalau aku akan kedinginan. Aku tahu kamu cuma bercanda dan menggodaku. Tetapi setelah kurasakan ternyata malam ini aku memang sangat kedinginan. Baik tubuhku maupun hatiku. Kamu mau menghangatkannya?”

“Sis, kamu sadar apa yang kamu katakan?” tanyaku.

“Aku sadar sepenuhnya. Kamu mungkin memandangku sebagai perempuan murahan, tapi sejujurnya aku belum pernah berselingkuh sampai ketika kami mengobrol tadi. Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba aku membayangkan malam ini menjadi sangat panjang dan dingin. Aku tidak ingin berpisah dengan suamiku, tapi aku.. tidak.. tidak. OK, kalau kamu tidak bersedia tidak apa-apa dan aku percaya kamu bisa merahasiakan hal ini”.

Aku diam sejenak. Siska memang terlihat sangat cantik dan matang. Kubimbing ia masuk ke kamar, menutup pintu teras dan mengunci pintu masuk. Ia memegang jariku, menatapku dan berbisik, “Thanks To”.

Aku berbaring dengan pikiran menerawang. Sejujurnya aku pun ingin menikmati tubuhnya yang indah, namun rasanya hal ini terlalu mudah dan cepat sehingga aku tidak bisa mencernanya. Siska membuka ikatan rambutnya sehingga rambutnya tergerai sampai ke pungungnya.

Reuni Yang Berujung Nikmat

Gaun malam yang dikenakannya sangat serasi dengan tubuhnya. Ia melemparkan syal yang dipakainya. Aku baru sadar kalau gaunnya memiliki potongan V rendah di dada sehingga sebagian buah dadanya terlihat padat. Ia menghempaskan tubuhnya di sampingku.

“To, apa pandanganmu terhadap diriku ini. Apakah aku seorang perempuan yang gampangan?”

“Saya tidak akan menilai pribadi seseorang. Kamu sudah dewasa dan kamu bisa menilai dan memutuskan apa yang kamu lakukan”.

Siska diam, tapi tangannya mulai mengusap lenganku dengan lembut. Kupeluk dia dari belakang dan kuciumi leher dan bahunya yang terbuka. Dipegangnya tanganku dan ditangkupkan ke dadanya. Kuremas buah dadanya perlahan. Siska merintih perlahan dan membalikkan badannya.

Kami masih terus berpelukan, berciuman dan berguling-guling. Ciuman dan remasanku semakin lama semakin ganas. Iapun mengerti kalau nafsuku sudah mulai bangkit. Ia mendesah dan menggesek-gesekkan pipinya pada pipiku. Bibirnya mengulum daun telingaku dan mendesah..

“Ohh.. Anto. Enam bulan lebih aku kedinginan dan menunggu saat-saat seperti ini”.

“Siska, aku akan memuaskanmu malam ini..”, balasku sambil menciumi telinganya.

Ia menindih tubuhku dan tetap menciumi bibir, leher dan pipiku sambil terus merintih dan merapatkan tubuhnya. Tangannya dengan cekatan membuka kancing bajuku. Kutarik retsluiting gaunnya dan kini bagian dadanya semakin terbuka lebar. Mulut dan lidahku menyusuri seluruh leher, telinga dan pangkal buah dadanya yang sedikit tersembul.

Ia melepaskan pelukannya dan membuka gaunnya. Kulitnya yang putih diterpa lampu kamar yang remang-remang membuat silhouette di tubuhnya. Aku melepas kemejaku dengan tetap berbaring. Siska membuka kepala ikat pinggangku kemudian menarik kaitan dan retsluiting celanaku. Kini aku dan Siska hanya mengenakan pakaian dalam.

Siska berbaring telentang dan tangannya terjulur menyambutku. Kususupkan tanganku ke balik bra-nya dan kuremas putingnya. Ia tidak sabar lagi dan tangannya membuka kaitan bra-nya. Kini bagian dadanya sudah polos terbuka. Kubenamkan mulutku ke dadanya dan beraksi mencium dadanya yang padat kemudian menggigit belahan dadanya dan menjilati putingnya.

Kejantananku mulai bereaksi ketika tangannya menyusup di celana dalamku. Pelan tapi pasti kejantananku mulai membesar sehingga terasa mulai mengganjal. Kunaikkan pantatku untuk mengurangi rasa tekanan kejantananku pada perutnya.

Kemudian tangannya mengarahkan kejantananku sehingga kepalanya berada sedikit di bawah pusarnya. Tangannya ke bawah, kemudian meraba, mengusap serta memainkan penisku.

Kini kepalaku bergerak ke leher, dada, menjilat putingnya dengan jilatan ringan kemudian terus ke bawah sampai di selangkangannya. Kusingkapkan celana dalamnya dan mulai menjilati dan memainkan tonjolan daging kecil di bagian depan vaginanya.

Bibir vaginanya yang berwarna kemerahan kuusap dengan bagian dalam telunjukku. Ia membuka pahanya agar memudahkan aksiku. Aku menggesekkan hidungku ke bibir vaginanya.

“Lakukan To.. Teruskan. Ahkk!!”

Ia menghentakkan kepalanya dengan keras ke atas bantal meluapkan kekecewaannya. Ia terhentak dan mengejang sesaat ketika clitnya kujilat dan kujepit dengan kedua bibirku. Kulepas dan kujepit lagi. Ia merengek-rengek agar aku menghentikan aksiku dan segera melancarkan serangan terakhir, namun aku sendiri masih ingin menikmati dan melakukan foreplay.

Beberapa saat aku masih dalam posisi itu. Tangan kirinya memegang kepalaku dan menekankannya ke celah pahanya. Tangan kanannya meremas-remas payudaranya.

Kepalaku kembali bergerak ke atas dan menciumi sekujur dadanya. Tangannya berada di atas kepala sambil meremas ujung bantal. Siska kelihatannya tidak sabar lagi dan dengan sekali gerakan tangannya melepaskan celana dalamku dan memegang kemudian mengocok penisku.

Kini dibukanya celana dalamnya dan kepala penisku digesekkannya pada bibir vaginanya. Tanganku mengusap gundukan payudaranya dan meremas dengan pelan dan hati-hati. Ia menggelinjang. Mulutku menyusuri leher dan bahunya kemudian mencari-cari bibirnya yang sudah setengah terbuka.

Aku bergerak sehingga posisi dadanya sekarang di depan mulutku. Putingnya yang berwarna kemerahan digesekkannya di ujung hidungku dan segera kutangkap dengan bibirku. Kami berguling sedikit dan sebentar kemudian ia sudah berada di atasku.

Bibirnya dengan lincah menyusuri wajah, bibir, leher dan dadaku. Siska mendorong lidahnya jauh ke dalam mulutku, kemudian menggelitik dan memilin lidahku. Kubiarkan Siska yang mengambil inisiatif permainan. Sesekali lidahku membalas mendorong lidahnya. Kujepit putingnya dengan jariku sampai kelihatan menonjol kemudian kukulum dan kujilati dengan lembut.

“Auhh, Ayolah Anto.. Teruskan.. Lagi,” ia merintih pelan.

Kemaluanku mulai menegang dan mengeras. Kukulum payudaranya semuanya masuk ke dalam mulutku, kuhisap dengan kuat, dan putingnya kumainkan dengan lidahku. Napas kami memburu dengan cepat dan badan kami mulai hangat oleh darah yang mengalir deras. Kami berguling.

“Ayo puaskan aku sayang.. Ahh.. Auuh!” Siska mendesis ketika ciumanku berpindah turun ke leher dan daun telinganya.

Tangan kiriku mulai menjalar di pangkal pahanya, kumasukkan jari tengahku ke belahan di celah selangkangannya dan kugesek-gesekkan ke bagian atas depan vaginanya.

“Ahh.. Kamu pandai sekali”.

Sementara itu tangan kananku meremas buah dadanya dengan lembut. Tangannya membalas dengan memegang, meremas dan mengocok penisku. Dengan liar kuciumi seluruh bagian tubuhnya yang dapat kujangkau dengan bibirku. Beberapa saat kemudian penisku mengeras maksimal. Kepalanya memerah dan berdenyut-denyut.

Jari tengah kiriku kugerakkan lebih cepat dan tubuhnya kemudian berputar-putar menahan rasa nikmat. Pinggulnya naik dan bergoyang-goyang. Kupelintir puting payudara kirinya dan dan mulutku menjilati puting kanannya. Sementara itu jari kiriku tetap mengocok lubang vaginanya. Semakin cepat kocokanku, semakin cepat dan liar gerakan pinggulnya.

Kepalaku bergerak turun perlahan sampai di selangkangannya dan segera mengambil alih pekerjaan jariku. Kubuka bibir vaginanya dengan jariku dan dinding vaginanya yang mulai basah oleh lendir agak kental dan lengket segera kujilati. Bibir vaginanya kugaruk dengan kumisku. Ia menggelinjang tidak karuan.

“To.. Anto.. Aku juga mau merasakan penismu,”

Aku bergerak memutar sehingga penisku berada di depan mulutnya. Ia kemudian mengecup kepala penisku. Lidahnya membelah masuk ke lubang kencingku. Aku merasakan sensasi kenikmatan yang tidak terkira dan secara refleks aku mengencangkan otot kemaluanku.

Buah zakar yang menggantung di bawahnya kemudian diisapnya dan dijilatinya sampai pangkal buah zakarku. Aku hanya menahan napasku setiap ia menjilati titik sensitif ini. Kami seakan berlomba untuk memberikan rangsangan pada alat kelamin pasangannya.

Kami bergantian menikmatinya. Ketika ia mengulum, mengisap dan menjilat penisku aku menghentikan aksi lidahku dan menikmatinya demikian juga sebaliknya ketika klitorisnya kujilat dan kutekan dengan lidahku ia berdesis keras menahan rasa nikmat. Tangannya kadang menekan kepalaku dengan keras ke selangkangannya.

“Putar To. Berguling, aku ingin di atas,” pintanya dengan manja.

Aku berguling dan kembali kami melanjutkan aktivitas kami. Kini mulutnya dengan leluasa beraksi di penis dan area sekitar pangkal pahaku. Penisku sudah mulai terasa ngilu menahan sedotan mulutnya yang sangat kuat.

“To, ayo kita masuk dalam permainan berikutnya..”

Dengan gerakan perlahan Siska berjongkok di atas selangkanganku dan mulai menurunkan pantatnya. Sebentar kemudian dengan mudah aku sudah menembus guanya yang hangat dan lembab. Kembali kurasakan sempitnya alur vaginanya.

Pinggulnya bergerak naik turun dan aku mengimbanginya dengan memutar pinggul dan menaik turunkan pantat. Kakinya menjepit pahaku dan kadang dikangkangkan lebar-lebar.

Kuciumi bahu dan dadanya. Beberapa kali kugigit sampai meninggalkan bekas kemerahan. Tangannya menekan dadaku sekaligus menahan berat badannya. Gerakan pinggulnya berubah menjadi berputar cepat dan semakin cepat lagi.

Tak lama kemudian ia merebahkan tubuhnya merapat di atasku dan mulai menghujaniku dengan ciuman dan gigitan. Kini dadaku yang berbekas kemerahan di beberapa tempat.

Aku mengambil posisi duduk dan kubalikkan tubuhnya ke arah berlawanan dengan arah kepalaku tadi. Kini aku berada di atasnya. Jepitan dan sempitnya vagina membuatku kadang melambatkan tempo dan berdiam untuk lebih rileks. Namun ketika aku diam jepitan dinding vaginanya ditingkatkan sehingga aku tetap saja didera oleh rasa nikmat luar biasa.

Aku bergerak semakin cepat dan mulai kurasakan aliran yang tidak terkendali di tubuhku. Aku ingin segera mengeluarkannya namun aku harus memuaskannya terlebih dahulu. Aku menurunkan irama permainan.

Kini ia yang bergerak-gerak liar. Gerakan demi gerakan, teriakan demi teriakan dan akhirnya Siska sampai ke puncak sesaat kemudian setelah mengeluarkan teriakan keras dan panjang.

“Aachhkk.. Anto.. Ouhh”.

Tubuhnya mengejang dan pantatnya naik. Untuk memaksimalkan kepuasannya maka kutekankan penisku ke dalam vaginanya. Ketika dinding vaginanya berdenyut, maka kubalas dengan gerakan otot keggelku. Iapun kembali mengejang setiap kali otot keggelku kugerakkan.

Sejenak kami beristirahat tanpa mencabut penisku. Kami saling mengusap tubuh satu sama lain. Sesaat kemudian kami membersihkan diri dan kembali berbaring bersebelahan.

“Kamu memang gombal. Laki-laki memang tukang tipu. Kamu bilang masih perjaka. Kalau melihat permainanmu tadi pastilah sudah banyak wanita yang jadi korbanmu,” katanya ketus sambil mencubit pahaku.

“Aduuhh. Nggak ada yang jadi korbanku. Malahan kadang aku yang jadi korban. Atau kamu merasa jadi korbanku?” tanyaku serius.

Ia diam dan kelihatan bingung menerima pertanyaanku.

“Ahh. Sudah kamu memang dari dulu ngeyel, nggak mau kalah, usil, nyebelin meskipun kalau nggak ada kamu memang suasana kelas jadi sepi”.

“Jadi sekarang gimana..?” Tanyaku.

“Ya dilanjut dong. Aku kan masih ingin lagi..”

Ketika gairah kami kembali bangkit aku memeluknya kembali. Kami kembali berciuman dan saling merangsang untuk meningkatkan gairah kami. Kali ini kami melakukan pemanasan agak lama sampai ketika penisku sudah mengeras maksimal dan vaginanya sudah mulai basah, Siska lalu mengangkang dengan satu kaki dilipat lututnya.

“Ayo To, kita lakukan lagi!” Dengan cepat aku menindih tubuhnya dan penisku segera beraksi menggenjot vaginanya.

Setelah beberapa lama maka kuberikan isyarat untuk doggy style. Ia mendorong tubuhku agar dapat mengambil posisi tengkurap. Ia sudah membelakangiku dalam keadaan berbaring. Diremasnya penisku dan diarahkan ke vaginanya.

Pantatnya dinaikkan sedikit dan dengan mudah penisku menyusup di belahan vaginanya. Kugenjot lagi vaginanya. Kurebahkan badanku di atasnya. Kami berciuman dalam posisi ia tengkurap, sementara kemaluan kami masih terus bertaut dan menjalankan kegiatannya.

Aku menusuk vaginanya berulang kali. Ia pun mendesah sambil meremas sprei di dekatnya. Aku berdiri di atas lututku dan kutarik pinggangnya. Kini ia berada dalam posisi menungging dengan pantat yang disorongkan ke kemaluanku.

Setelah hampir dua puluh menit permainan kami yang kedua ini, Siska semakin keras berteriak dan sebentar-sebentar mengejang. Vaginanya terasa semakin lembab dan hangat. Kuhentikan genjotanku dan kucabut penisku.

Siska berbalik telentang dan sebentar kemudian aku naik ke atas tubuhnya dan kembali menggenjot vaginanya. Akhirnya aku merasa hampir mencapai puncak dari kenikmatan ini. Kutarik buah zakarku sehingga penisku kelihatan agak memanjang.

“Siska, kayaknya aku nggak tahan lagi, aku mau keluar,” teriakku.

“Ouhh.. Tunggu dulu.. Sebentar lagi.. Kita sama-sama..”

Napas kami semakin terengah-engah. Kukendorkan sebentar otot keggelku dan kemudian kukencangkan, kutahan dan kugenjot lagi dengan cepat. Kupercepat gerakanku. Akhirnya tak lama kemudian kami bersama mencapai titik kenikmatan tertinggi.

Aku menyemprotkan spermaku terlebih dahulu. Siska semakin cepat menggerakkan tubuhnya agar tidak ketinggalan dan tak lama Siska pun mendapatkan puncaknya ketika penisku masih menyemburkan sisa-sisa lahar kenikmatan. Setelah itu kami terbaring lemas.

Sekitar jam empat dini hari kami sudah bergumul lagi dengan liarnya. Hampir satu jam kami menuntaskan gairah kami. Jam setengah enam aku kembali ke kamarku. Selang lima menit Isman datang. Ia menatapku dengan sorot mata heran melihat mataku yang memerah.

“Kamu nggak tidur semalam?” tanyanya.

“Tidur, cuma nggak nyenyak aja,” kataku jujur. Aku kan sempat tertidur juga sambil memeluk Siska, meskipun paginya harus mengeluarkan energi ekstra.

“Udah, lu tidur lagi aja. Acara nanti paling mulai jam delapan. Aku mau ke bawah dulu minum kopi,” katanya lagi.

Jam setengah delapan aku terbangun dan langsung mandi. Jam delapan kurang sepuluh aku sudah ada di restauran dan menyelesaikan sarapan dengan cepat. Jam delapan aku sudah ada di depan hotel bersama-sama dengan teman-teman lainnya.

Seperempat jam kemudian kami sudah berada di Taman Wisata Kaliurang. Kami berjalan sambil bergurau naik turun bukit dan menikmati panorama Kaliurang. Aku berjalan di samping Intan. Aku teringat saat SMA ketika kami sekelas mengadakan acara santai di sebuah lokasi wisata pegunungan.

Aku selalu menempel Intan dan membantu membimbing tangannya ketika melewati jalan yang sempit atau curam.

“Capek In?” tanyaku.

“Ah enggak. Gimana tidurnya, nyenyak?” tanyanya seolah menyelidik.

Aku jadi kikuk dan merasa bersalah. Ada perasaan seolah-olah ia tahu apa yang terjadi semalam. Padahal mungkin saja ia hanya sekedar berbasa-basi.

“Yah bisa juga tidur, tapi udara terlalu dingin. Jadi sering terbangun dan buang air kecil,” kataku.

Tiba-tiba sekelompok teman yang lain mendahului kami dan berkata.., “Silakan bernostalgia. Kami tidak akan mengganggu kalian kok”. Kemudian pecah suara tawa berderai. Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan.

“Cepat kalian jalan di depan. Kami juga tidak mau diganggu,” kataku.

“Tapi ingat lho. Kalau berduaan jangan di tempat sepi, bahaya!” celetuk seseorang.

Siska yang berada di dalam rombongan itu melihatku dan tersenyum. Akhirnya setelah makan di alam terbuka kami kembali lagi ke hotel sekitar jam dua belas siang. Acara reuni akan berakhir jam tiga dan jam dua sudah harus check out. Isman sudah nggak ketahuan lagi perginya. Iseng-iseng kutekan nomor kamar Siska di telepon kamar.

“Hallo..” terdengar suara Siska.

“Hallo say, udah beres-beres?” tanyaku.

“Ini lagi masukin pakaian,”

“Perlu bantuan?” tanyaku lagi.

Ia tidak menjawab dan meletakkan gagang teleponnya. Aku berpikir sejenak dan akhirnya kuputuskan untuk ke kamarnya saja. Paling tidak aku harus bicara apa yang telah terjadi semalam. Kuketuk pintu kamarnya.

“Room service,” kataku dengan suara agak berat.

“Masuk saja,” katanya.

Aku masuk ke dalam kamarnya dan ia kelihatan terkejut melihatku.

“Kamu lagi. Nggak bosan-bosannya berbuat iseng”.

“Aku juga nggak bosan dengan kamu kok,” Mukanya memerah.

“Ngerayu lagi. Udah sana beresin pakaianmu sana. Sebentar lagi kita udah diusir sama suaminya Tini”.

Siska sudah berganti pakaian dengan kemeja pink tipis dan celana jeans ketat. Bra-nya yang berwarna hitam dengan model tanpa tali bahu terlihat di balik kemejanya. Ia duduk di atas ranjang dan aku memeluk dari samping, sambil bibirku mulai bekerja menciumi daerah leher, pelipis dan sekitarnya.

“Udah To. Sebentar lagi kita harus check out,” katanya sambil berusaha melepaskan pelukanku.

“Kita masih punya waktu sedikit lagi kan?” kataku yakin. Ia ragu-ragu tapi kemudian kurasakan ia menyerah dalam pelukanku.

Angin pegunungan bertiup agak kencang sehingga Siska menggigil. Tanganku dipegangnya dan didekapkan di dadanya. Kubisikkan di telinganya, “Daripada kita kedinginan lebih baik kita panaskan dulu suasana ini!”

Ia tidak menjawab namun tubuhnya bergerak dan duduk di pangkuanku. Kemudian tangannya menggelayut di leherku. Kami berpelukan di atas ranjang.

Tak lama kemudian tubuh bagian bawahnya sudah telanjang, sementara aku sudah telanjang bulat. Aku sengaja belum membuka bajunya karena ingin menikmati pemandangan di depanku ini.

Tubuh yang putih mengenakan pakaian tipis terbuka di atas sedang berbaring di ranjang sementara di bagian pangkal pahanya terbayang sejumlah rumput hitam yang rapi mengitari sebuah telaga. Ia membuka pahanya sehingga telaganya yang berwarna kemerahan sangat menantang. Aku hanya diam dan mengelus-elus perutnya.

“Kamu cuma akan begini terus atau..”. Belum habis kata-katanya kucium bibirnya dan aksiku pun segera berlanjut.

Kutindih dan kujelajahi sekujur tubuhnya dengan jariku. Mulutnya mendekat ke telingaku dan berbisik..

“Ouuhh.. Anto.. Terserah kamu apapun yang akan kau lakukan..”.

“Aku akan memuaskanmu..” kataku membalas bisikannya.

“Ouhh.. Apa.. Saja. Akhh..!”

Dari bibir lidahku turun ke dada dan ke samping, mengecup pinggul dan pinggangnya, kemudian ke arah pahanya. Hidungku kutempelkan di bibir vaginanya. Tercium aroma harum dan segar. Kulebarkan pahanya kuberikan rangsangan di sekitar pangkal pahanya tanpa menyentuh vaginanya. Ketika kugigit pahanya sampai merah ia memekik.

“Antoo.. Jangan.. Sudah To!” pekiknya.

Kepalaku kembali ke dadanya dan kuminta dia untuk berguling ke atas. Dengan cepat kami berguling. Kuraih bagian bawah bajunya dan dengan cepat kulepaskan lewat kepalanya. Kukecup gundukan payudaranya yang keluar dari cupnya.

Bra-nya dengan sekali jentikan jariku kemudian terlepas. Kusambut payudaranya dengan jilatan lidahku melingkari sekitar puting dan dengan sekali jilatan halus.

Siska menekan pangkal payudaranya sehingga payudaranya seperti mengencang. Siska kemudian membawa payudaranya ke mulutku dan kusambut dengan rakus seperti bayi yang sedang kehausan susu ibunya. Kugantikan posisi tangannya dan kuremas.

Ujung putingnya kujilat dan kumainkan dengan gigitan lembut bibirku. Ia semakin terangsang dan ingin segera mendaki lereng kenikmatan.

Tangannya mengocok penisku dengan lembut. Dikecupnya kepala penisku, diratakannya cairan bening yang sudah mulai keluar dari lubang kencingku dengan mulutnya. Aku menahan napas ketika lidahnya menjilati lubang kencingku. Kini ia jongkok di atas pahaku dan mulai mengarahkan penisku ke dalam liang vaginanya.

Peniskupun masuk ke dalam liang vaginanya. Kukeraskan ototku sedikit dan Siskapun mulai menggerakkan pantatnya. Ia seperti penunggang kuda yang sedang memacu kudanya. Pantatnya bergerak naik turun dengan cepat.

Aku mengimbangi dengan gerakan pinggulku serta meremas dan mengulum payudaranya. Gerakannya semakin cepat dan erangannya makin sering. Aku mengubah posisiku menjadi duduk dan memeluk pinggangnya. Kami berciuman dalam posisi Siska duduk di pangkuanku.

“Aagghh.. Anto..,” teriaknya.

Kudorong dia ke arah yang berlawanan dengan posisi semula. Kini aku berada di atasnya dan mulai mengatur irama permainan. Bibirku bergerak ke leher dan menjilatinya. Tangannya mengusap punggung dan pinggang sampai pantatku.

Tanganku meremas lembut payudaranya dari pangkal kemudian kutarik ke arah puting. Kutarik putingnya sedikit dan kujilati sekitarnya yang juga berwarna kemerahan. Kutekan payudaranya dengan telapak tangan dan kuputar-putar.

Kususuri buah dadanya dengan bibirku tanpa mengenai putingnya. Ia bergerak tidak menentu. Semakin ia bergerak maka payudaranya ikut bergoyang. Jilatanku makin ganas mengitari tonjolan kemerahan itu.

“To.. Aku.. Isep.. Isep dong.. Yang,” pintanya.

Aku masih mempermainkan gairahnya dengan jilatan halus di putingnya itu. Siska mendorong buah dadanya ke mulutku, dan putingnya langsung masuk ke mulutku, dan kukulum, kugigit kecil serta kujilat bergantian. Lumatan bibirku di puting Siska makin ganas. Ia semakin liar bergerak

“Aagh..”, ia memekik-mekik.

Vagina Siska makin lembab, namun tidak sampai banjir. Siska langsung mendesis keras ketika merasakan hunjaman penisku yang menyodoknya bertubi-tubi. Tangannya mencengkeram punggungku. Gerakan naik turunku diimbangi dengan memutarkan pinggulnya.

Semakin lama gerakan kami semakin cepat dan liar. Ia semakin sering memekik dan mengerang. Kuku tangannya kadang mencakar punggungku. Kutarik rambutnya dengan satu tarikan kuat, kukecup lehernya dan kugigit bahunya.

“Ouhh.. Ehh.. Yyeesshh!”

Kugenjot Siska dengan cepat dan menghentak-hentak. Kuganti irama gerakanku. Kumasukkan penisku setengahnya dan kucabut sampai tinggal kepalanya yang terbenam beberapa hitungan dan kemudian kuhempaskan pantatku dengan keras.

Siska pun menjerit tertahan dan wajahnya mendongak. Pinggulnya yang tidak pernah berhenti untuk bergoyang dan berputar semakin menambah kenikmatan yang terjadi. Jepitan vaginanya yang menyempit ditambah dengan gerakan pinggulnya membuatku semakin bergairah.

Aku menurunkan irama untuk mengurangi rasa nikmat yang meledak-ledak. Penisku kubiarkan tertanam di dalam vaginanya dan kemudian aku menggerakkan otot kemaluanku.

Terasa penisku berkontraksi mendesak dinding vaginanya dan ketika aku melepaskan kontraksiku, kurasakan dinding vaginanya menyempit meremas penisku. Hanya suara desahan yang terdengar di dalam kamar. Ia memberi isyarat untuk menyelesaikan permainan ini.

“Aku ingin merasakan panasnya lahar gairahmu,” ia mendesah.

Kembali kami berpelukan dan bergerak liar tanpa menghiraukan tubuh kami yang basah oleh keringat. Siska semakin cepat menggerakkan pantatnya sampai penisku terasa disedot oleh satu pusaran yang sangat kuat. Siska meremas rambutku dan membenamkan kepalaku ke dadanya, betisnya menjepit erat pinggulku.

Badannya meronta-ronta, kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan, tangannya semakin kuat menjambak rambutku dan menekan kepalaku lebih keras lagi ke dadanya. Aku pun semakin bergairah untuk menghujani kenikmatan kepada Siska yang tidak berhenti mengerang.

“Aahh.. Sshh.. Sshh ” Gerakan tubuh kami semakin liar dan cepat.

“Ouoohh.. Nikmat.. Aku.. Sam.. Pai..”

Aku mengangguk dan ia pun memekik panjang, “Ya .. Ayo.. Aahhkk..!”

Aku mengencangkan otot kemaluanku dan menghunjamkan penisku ke dalam vaginanya. Nafasnya tercekat sejenak dan kemudian keluarlah erangannya. Tubuhnya kami mengejang bersama-sama. Kakinya memperketat jepitan di pinggulku. Sedetik kemudian spermaku sudah memancar di dalam vaginanya. Kami menjerit tertahan..

“Aww.. Aduuh.. Hggkk”

Sunyi sejenak di dalam kamar. Hanya ada suara napas memburu yang kemudian berangsur-angsur menjadi tenang. Sayup-sayup suara angin berdesir terdengar berirama. Setelah napas kami tenang kupeluk ia dengan mesra.

“Sis..”

“Hee.. Ehh”.

“Sejujurnya aku tak pernah berpikir akan terjadi hal seperti ini”.

Ia diam dan matanya agak memerah. Bibir bawahnya digigit.

“Aku juga tidak tahu kenapa ini terjadi. Aku sangat kesepian dan memerlukan kehangatan. Tetapi mengapa ini terjadi?” ia mengeluh dan menutup mukanya.

“To.. Sudah kepalang basah sekarang. Kalau kamu belum mau pulang ke Jakarta nanti malam aku masih menginginkannya lagi. Tapi tidak di sini. Kita pindah ke Yogya, sekitar Malioboro saja yuk”.

Kutatap matanya untuk memastikan kata-katanya.

Ia mengangguk dan berkata, “Seperti kataku tadi, sudah telanjur basah ya mandi saja sekalian..”

“Aku mengerti, tapi aku juga tegaskan bahwa ini adalah just for fun. Aku tidak ingin kamu berpisah dengan keluargamu. Aku hanya ingin membantu melepaskan dahagamu saja,” kataku.

“Aku juga tidak ingin kehilangan keluargaku,” katanya tegas.

Akhirnya acara reuni berakhir dan aku masih melanjutkan reuniku hanya berdua dengan Siska di Yogyakarta. Ketika kami berpisah keesokan harinya, ia mengecup pipiku dan berbisik..

Cerita sex : Gara – Gara Kecewa Dengan Suami

“Tahun depan kamu harus ikut reuni lagi”. Artinya?

Bagikan ke yang lainnya
Telegram
Tutup
Tutup