Lensa69

Selimut Duka Kenikmatan

Selimut Duka Kenikmatan

Mendung bergelayut diatas sekumpulan orang yang sedang bergerombol mengitari liang di sebuah pemakaman umum di kota Surabaya yang panas. Suasana sedih tampak jelas dari raut muka para hadirin di tempat itu. Walau bermuka tegar dan berusaha tak menunjukkan kesedihannya, tapi hati Anton meraskan kehilangan yang amat dalam. Edo adalah sahabatnya sejak SMU dan sekarang meninggalkannya untuk selamanya. Dengan tatapan tajam pada jenazah yang diturunkan ke liang lahat, Anton melepas sahabatnya yang telah gigih berjuang melawan penyakit kanker selama satu tahun terakhir ini.

Kembali ke rumah duka, Anton hanya duduk dilantai dipojok kamar tempat sahabatnya mengehembuskan nafas terakhir. Dia hanya melamum mengenang kejadian dua hari yang lalu dimana Edo yang terbaring lemah diatas tempat tidur dalam kamar itu bercerita tentang rencana pelangsungan pernikahan yang sedang digagasnya. Dalam hati Anton merasakan sebuah peristiwa yang sangat ironis dari rencana sahabatnya itu. Hampir semua yang berada dalam rumah duka tersebut masih meneteskan air matanya kecuali Anton. Sementara diluar masih ramai para teman Edo yang juga temannya bercakap-cakap mengenang seorang teman yang baru saja dimakamkan. Seorang teman mengajak Anton keluar untuk ikut bercakap-cakap dan menerima tamu, tapi Anton hanya terdiam saja.

Calon mempelai Edo terlihat masih menangis tersedu-sedu diruang tengah berusaha ditenangkan oleh keluarga sahabatnya. Melihat kejadian itu, Anton juga ingin menangis tapi otaknya yang penuh kenangan terhadap sahabatnya mampu menghibur hatinya yang penuh kesedihan. Ingatannya kembali pada masa lalu, masa dimana ia dan sahabatnya sering menghabiskan waktu bersama untuk mempelajari hal-hal yang berbau teknologi komputer. Kebersamaan Anton dengan sahabatnya yang baru saja meninggal itu naik turun karena kesibukan masing-masing. Tapi sejak sahabatnya pindah kembali ke kota Surabaya, kebersamaan Anton dan sahabatnya kembali seperti saat-saat mereka di sekolah. Walau tak banyak yang dilakukan Anton di rumah duka sahabatnya kecuali diam dan merokok, tapi ia tak segera pulang hingga malam hari. Merasa merepotkan keluarga sahabatnya, iapun dengan berat hati berpamitan pulang. Ketika melangkahkan keluar dari pintu rumah itu, sebuah suara yang datang dari arah belakang memanggilnya. Rupanya kakak perempuan sahabatnya dari luar kota yang telah lama tak dijumpainya minta tolong untuk diantarkan ke hotel tempatnya menginap. Anton sebenarnya sudah agak lupa dengan wajah Mbak Eka, kakak sulung sahabatnya yang lebih tua 2 tahun darinya. Eka adalah satu-satunya anggota keluarga sahabatnya yang tidak begitu dikenal oleh Anton.

“Anton, Sorry ya ngrepotin, bisa minta tolong mengantar aku dan Lusi balik?”, tanya Eka tanpa basa-basi. 

“Bisa Mbak “, jawab Anton dengan serta merta. Eka lalu balik kembali kedalam rumah dan tak lama kemudian keluar bersama Lusi, calon mempelai sahabatnya. Berbeda dengan Mbak Eka, wajah Lusi masih tampak sembab dan berjalan sangat pelan. 

“Sorry ya, aku nemenin Lusi di kursi belakang, kamu sendirian didepan”, kata Mbak Eka. “Nggak apa-apa kok Mbak”, jawab Anton. Dilepas oleh beberapa anggota keluarga sahabatnya sampai depan rumah, Anton segera menyalakan mobilnya dan mengantar Lusi dan Mbak Eka. Didalam perjalanan Eka tak henti-hentinya berusaha menghibur Lusi dan sesekali menasihatinya agar tetap tabah. Anton mengendarai mobilnya dengan pelan sambil sesekali menanyakan arah tempat tinggal keluarga Lusi pada Lusi karena sebelumnya memang belum pernah ketempatnya. Sebelumnya memang Anton sudah dikenalkan sahabatnya pada Lusi, tapi hal itu telah berlalu 6 bulan yang lalu saat ia diajak Edo ke Jakarta. 

Karena perkenalan yang singkat dan tak pernah bertemu lagi hingga sekarang maka Anton hanya mengenal Lusi sebatas yang Edo ceritakan padanya. Setelah sampai di rumah keluarga Lusi, Eka mengantarkan Lusi hingga ke kamarnya. Anton yang duduk di ruang tamu mendengar isak tangis Lusi kembali muncul ketika akan ditinggal Eka. Demi menenangkan calon adik iparnya yang batal sepeninggal Edo, Eka terpaksa harus menunggu Lusi hingga tenang kembali. Sementara itu, Anton yang banyak diam ditemui oleh ayah Lusi di ruang tamu. Dalam benak Anton timbul sebuah penasaran mengenai Eka.

Dia heran terhadap ketabahan Eka menerima kematian adik kandungnya. Dan yang membuatnya heran lagi adalah sikap Eka yang menunjukkan kebijaksanaan dalam tutur katanya yang lembut ketika menenangkan Lusi. Sebuah hal yang sulit bagi seseorang yang berduka cita mendalam tapi mampu mengendalikan emosinya apalagi mengendalikan emosi orang lain. Anton tak mengenal Eka secara langsung tapi dari cerita-cerita Edo dan anggota keluarganya yang lain, ia mengetahui bahwa Eka merupakan wanita karier dengan prestasi yang membanggakan. Walau umurnya telah menginjak kepala tiga tapi ia masih melajang. Anton yakin bahwa kelajangan Eka bukan disebabkan oleh penampilannya. Penampilan Eka meski tak menyolok tapi sangat menarik. Dengan tinggi 165 cm, berat tak lebih dari 60 kg, tubuh atletis dan berparas manis mampu membuatnya dengan mudah memilih pria yang disukainya bila ia mau. Tapi mungkin karena pekerjaannya sebagai manajer HRD di sebuah perusahaan asing di Jakarta banyak menyita waktunya sehingga saat ini ia belum berkeluarga.

Jam dinding rumah keluarga Lusi berdenting hingga 11 kali ketika Eka mengajak Anton untuk berpamitan pada kedua orang tua Lusi. Seperti sebelumnya, Anton mengendari mobilnya tanpa banyak bicara. Dia hanya menanyakan nama hotel tempat Eka menginap. Berkali-kali Eka membuka bahan pembicaraan tapi Anton tetap tak banyak komentar. Sesampai didepan pintu masuk hotel, Anton menghentikan mobilnya dan berpamitan langsung pada Eka. Semula Eka memang hanya ingin diturunkan di pintu masuk hotel. Tetapi setelah melihat seseorang yang dikenalnya dari kejauhan ia meminta Anton untuk mengantarnya kekamar. Wajah tenang Eka berubah menjadi gelisah saat turun dari mobil. Anton memang tak tahu apa yang terjadi pada Eka tapi ia merasakan ada sesuatu. Ketika melewati lobby hotel, seseorang pria menyapa dan menghentikan langkah mereka berdua. Eka menanggapinya dengan acuh tak acuh meski tetap meladeninya bicara. Merasa bukan urusannya, Anton mengambil jarak dari Eka.

Seakan tak mau jauh dari Anton, Eka memegang pergelangan tangan Anton dan menariknya agar tetap berada disampingnya. Pria itu memperhatikannya dengan wajah cemburu. Dalam keadaan masih berdiri, pria itu berbincang pada Eka dan berusaha membujuknya segera balik ke Jakarta dengan berbagai alasan perihal urusan kantor tanpa peduli terhadap kedukaan Eka sepeninggal adiknya.

Dengan tenang Eka meladeninya dan dapat membalik kata-kata pria tersebut karena dia tahu maksud sebenarnya yang tak terungkap dari omongan pria tersebut. Anton tetap saja diam tak ingin mencampuri urusan Eka dan setiap kali berusaha mengambil jarak, gandengan Eka pada pergelangan tangannya mampu menahannya. Kesabaran pria itu mulai sirna. 

“Meskipun Mr. Smith bos kamu telah memberimu cuti 5 hari, tapi dia pasti akan menjadikanmu kambing hitamnya bila harga saham perusahaan jatuh dalam minggu ini!”, kata pria itu dengan nada tinggi. Kata-kata itu membuat Eka terdiam karena dia merasa omongan pria itu ada benarnya. 

“Maaf om, bukannya mau mencampuri urusan, tapi bukankah saham perusahaan “X” habis rebound kemarin? Menurut prediksi malah akan terus naik minggu ini karena masih under value. Dan lagi bukankah pasar yang menentukan?”, celetuk Anton dengan tenang tapi mengejutkan Eka maupun pria itu. Ucapan Anton mengingatkan Eka pada berita dari lantai bursa kemarin dan semakin mengukuhkan pendiriannya untuk tidak segera kembali ke Jakarta. Pada saat yang sama, pria itu merasa sangat marah pada Anton karena mencampuri urusannya dan mematahkan argumennya. 

“Tahu apa kamu tentang bursa saham?”, tanya pria itu dengan nada menghina dan mendekat pada Anton. Pria itu berusaha agar dapat berkelahi dengan Anton untuk melampiaskan rasa kekesalannya yang sudah muncul sejak tadi. Tapi Anton hanya diam dan menggeleng kepala, sedikitpun tak terprovokasi. Sumpah serapah yang diterima Anton selanjutnya hanyalah bagai angin lewat tanpa sedikitpun mengusik emosinya yang ikut terkubur bersama jenazah sahabatnya.

Anton tetap diam berdiri ditempat, tegar dan pasrah seakan siap menerima apapun membuat pria itu makin marah dan mendorong-dorongnya dengan keras tapi dicegah oleh Eka. Datangnya beberapa satpam dan pegawai hotel tersebut membuat pria itu malu dan segera meninggalkan tempat itu. Sepeninggal pria itu Eka menggandeng tangan Anton mengajaknya ke arah lift untuk menuju kekamarnya di lantai 4. 

“Maaf ya Ton aku jadi ngrepotin kamu!”, kata Eka sesampai didalam kamar. 

“Nggak apa-apa kok Mbak”, jawab Anton tanpa ekspresi. 

“Sebentar ya aku ganti pakaian dulu”, kata Eka langsung masuk ke kamar mandi. 

“Ton, kamu pandai masalah saham juga ya!”, puji Eka sewaktu keluar dari kamar mandi tanpa mengenakan lagi celana jeans-nya. Pujian Eka memotong lamunan Anton yang sedang menatap pemandangan malam kota Surabaya dari jendela kamar hotel. Setelah memutarkan badan ke arah ucapan Eka ia melihat sosok wanita cantik berkaki indah nan mulus hanya mengenakan kemeja lengan panjang dan bercelana dalam saja. Anton memperhatikan Eka yang sedang berjongkok mengambil minuman kaleng dari lemari es kecil. 

“Maaf Mbak, maksud saya tadi bukannya sok tahu soal saham, saya hanya penasaran soal saham perusahaan Mbak, saham yang baru saja rebound apalagi masih under-valued bisa kembali anjlok lagi seperti dibilang orang itu”, ungkap Anton dengan nada datar. 

“Omongan pria itu hanya mengada-ada, dia itu yang sok tahu, analisa sahammu cukup jitu”, kata Eka sedikit menggoda sambil menyerahkan minuman kaleng pada Anton. 

“Analisa berita bukan analisaku”, kata Anton tanpa ekspresi sedikitpun. Eka menatap pemuda yang duduk didepannya dan lagi sibuk membuka kaleng dengan rasa kagum. Hatinya merasa bangga pada adiknya yang tak salah memilih sahabat. 

“Ton, aku bisa minta tolong lagi? Tapi kalau kamu nggak bersedia nggak apa-apa!”, tanya Eka. “Nggak usah sungkan Mbak, kalau bisa ya aku bersedia”, jawab Anton sambil mengusap ceceran minumannya di bibir. 

“Keberatan nggak kalau kamu bermalam disini untuk jagain aku malam ini. Soalnya pria tadi baru saja kuputus 2 hari yang lalu dan kelihatannya masih belum bisa terima. Aku takut kalau tiba-tiba ia ngelabrak aku lagi seperti tadi”, ungkap Eka. 

“Nggak masalah kok Mbak”, jawab Anton. 

“Pacarmu apa nggak marah kalau tahu kamu menginap di hotel berdua dengan cewek?”, tanya Eka agak penasaran. 

“Belum punya, Mbak!”, jawab Anton singkat. Berbekal salah satu gelar sarjana yang dimilikinya, psikologi, ditambah dengan pengalamannya, Eka meyakini bahwa Anton tidak berbohong dengan jawabannya.

Keyakinan atas jawaban Anton beserta sikapnya membuat Eka merasa terhibur. “Ton, kalau ngantuk tidur aja disampingku, tempat tidurnya besar kok”, ajak Eka sambil membaringkan badan dan menarik selimut. 

“Silakan Mbak tidur dulu, saya nggak ngantuk kok”, tolak Anton halus dan kembali termenung dikursinya menatap langit dengan pandangan kosong dari balik jendela kamar hotel. Bagi Anton saat ini meninggalnya Edo masih memberinya perasaan hampa dalam hatinya seakan mengunci pintu emosi dan nafsunya. Penolakan Anton akan ajakannya menimbulkan sedikit kekecewaan pada Eka, meskipun sepenuhnya dapat memaklumi situasi dan kondisi Anton. Dalam benaknya ia mempertanyakan kembali perasaan kecewanya. Sejak melihat kembali Anton siang tadi setelah waktu yang sekian lama, ia sudah menganggap pemuda itu sebagai adiknya

Dan ia yakin Anton menganggapnya sebagai kakak yang tak pernah dia miliki. Tapi Eka heran pada perasaannya sendiri. Munculnya getaran lain sewaktu mendengar jawaban singkat Anton yang belum punya pacar dan timbulnya rasa sedikit kecewa tadi membuatnya semakin penasaran. Dalam pembaringannya Eka masih dapat melihat sosok Anton yang sedang duduk menerawang ke langit. Keberadaan Anton sekamar dengannya memberinya selimut rasa aman yang lebih hangat dari selimut yang sedang dipakainya. Kehangatan itu membawanya ke alam mimpi. Berjam-jam Anton hanya duduk sambil terus menggali kembali ingatannya ketika bersama Edo. Seperti orang gila, Anton sesekali tersenyum seorang diri. Tiap detik waktu berlalu membawa ingatannya setitik demi setitik semakin menuju masa-masa akhir berhembusnya nafas Edo.

Tak ada senyum lagi. Setetes demi setetes air matanya meleleh hangat di kedua pipi dinginnya. Suasana hening kamar dan sejuknya AC kamar hotel menambah kerinduannya pada sahabatnya yang belum 24 jam meninggalkannya untuk selamanya. Semakin kuat ia menahan perasaannya, isaknya semakin dalam. “Anton, kamu Kenapa?”, suara khawatir Eka mengagetkan Anton. 

“Nggak apa-apa Mbak, masih gelap kok, tidur aja lagi!”, jawab Anton sambil mengusap air matanya berusaha menyembunyikan kesedihannya. Eka yang khawatir pada keadaan Anton dapat menebak beban kesedihannya. Eka turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju ke tempat duduk Anton.

Lalu ia duduk di kursi yang berseberangan meja dengan kursi yang diduduki Anton. 

“Ton, putar kursimu dan mengobrol denganku, tak baik membenam kesedihan seperti itu”, ucap Eka. Walau menuruti perintah Eka untuk memutar kursi dan berhadapan dengannya tapi Anton masih menyanggah perasaan sedih yang membebaninya pada Eka. 

“Kamu nggak usah merasa malu menangis didepanku. Aku tahu bahwa kamu sangat dekat dengan Edo. Selain Lusi aku dapat menebak bahwa kamu orang selain keluargaku yang amat sangat kehilangan Edo. Bahkan mungkin beban kesedihanmu bisa-bisa lebih berat daripada keluargaku sendiri”, ungkap Eka panjang lebar pada Anton. 

“Kasihan Edo, masih muda seumur denganku, karier mantap, calon pendamping sudah punya, tabungan hari tua juga cukup, tapi penyakitnya..”, kata Anton tak mampu meneruskan kata-katanya sambil sesenggukan. Eka bangkit dari tempat duduknya mendekat ke tempat Anton duduk. Tapi Anton sudah terburu menghamburkan tubuhnya ke tempat tidur dan membenamkan mukanya diatas bantal. Eka menyusulnya dan memeluk pundaknya. 

“Sudah Ton, lepaskan kepergian adikku! Biarkan dia tenang! Sahabat sejati tak akan menambah penderitaan sahabatnya yang pergi, bukan?”, suara lirih Eka diatas telinga Anton yang masih menelungkupkan mukanya. Nasihat Eka menyadarkan Anton dari keterpurukan suasana kalut hatinya. Sedikit demi sedikit beban kesedihan Anton mulai berkurang. Seiring dengan itu ia mulai membalikkan badannya pelan. Kepalanya menengadah ke arah plafon dengan muka masih berurai sisa-sisa air matanya. Sentuhan tangan Eka yang lembut mengusapnya. Keduanya sangat dekat hingga satu sama lain dapat merasakan nafas masing-masing. Membangkitkan kembali kesadaran emosi dan nafsu Anton. Anton bingung dengan apa yang sedang dialaminya hingga tak mampu mengeluarkan sepatah kata maupun berbuat sesuatu. Yang dapat dilakukannya adalah memeluk bahu Eka yang saat ini tengah menidurkan kepalanya diatas dada Anton. Eka merasakan pelukan tangan Anton pada bahunya dengan hati tersenyum. Degup jantung yang didengar Eka dari dada Anton bagaikan irama “nina-bobo” yang mengantarkannya kembali tidur. Terbuai dengan kehangatan tubuh Eka yang sedang memeluknya, Anton pun ikut tertidur. Sinar matahari pagi membangunkan Eka dari tidurnya. Bangkit pelan ia memberanikan diri mendekatkan mukanya pada muka Anton yang masih tertidur pulas. Ditatapnya wajah sahabat adiknya itu. Dalam hati Eka menanyai dirinya sendiri, dia heran mengapa dia bisa merasa sangat dekat dengan Eko. Padahal sebelumnya ia sangat jarang bertemu dengannya dan telah lama tak bertemu dengannya. 

Pertemuan-pertemuan sebelumnya pun terjadi tanpa sengaja dan sangat sebentar. Memang Edo pernah menceritakan perihal Anton tapi itupun tidak detil dan banyak yang sudah ia lupakan. Yang ia tahu pasti adalah Anton merupakan sahabat Edo dalam masa lebih dari 10 tahun. Dan keluarganya sudah menganggap Anton seperti anggota keluarganya begitu pula keluarga Anton juga sudah menganggap Edo sebagai keluarganya. Kebiasaan rutin Eka setelah bangun adalah segera mandi untuk menyegarkan badan. Tapi kali ini ia merasa berat untuk melakukannya. Ia masih terbelenggu oleh perasaannya dan belum beranjak dari tempatnya. Tak kuasa menahan kehendak hatinya, dengan pelan ia mengusapkan bagian belakang jari-jari tangannya pada wajah Anton yang imut dan lugu selagi pulas. Usapannya pelan dan lembut penuh perasaan. Kembali hatinya menanyakan perasaannya pada Anton. Hatinya tak mau diajak kompromi untuk menganggap Anton hanya sebagai adiknya sepeninggal Edo. Perasaannya menginginkan lebih dari itu. Semakin keras usaha Eka untuk melawan perasaannya semakin gundah pula hatinya. 

Tapi berkat pengalamannya berhubungan dengan lawan jenisnya, akhirnya Eka dapat menepis semua itu dengan rasionalnya. Rasio sadarnya menyatakan bahwa perasaannya pada Anton muncul hanya karena situasi dan kondisi serta pengaruh gairah nafsunya yang sedang memuncak. Ciuman bibir basahnya ia layangkan pada kening Anton untuk tanda ucapan perpisahan bagi perasaannya pada Anton. Kemudian ia bergegas ke kamar mandi, khawatir ciumannya akan membangunkan Anton. Dalam guyuran air shower, rasio pikiran Eka ikut jatuh terguyur. Perasaan yang telah ditepisnya kembali menghinggapi hati Eka. 

“Kenapa aku sangat tertarik pada Anton? Apakah ini bukan sekedar ajakan nafsu? Apakah hal ini benar-benar kata hatiku? Apakah aku harus mengikuti kata hatiku? Ataukah harus kuhalau semua perasaan itu? Tapi bagaimana caranya? Bagaimana dengan Anton? Bagaimana sikapnya kalau dia mengetahui perasaanku padanya?”, itulah sebagian pertanyaan yang muncul dibenak Eka ketika ia mandi.

Ketukan pintu kamar dan suara perbincangan antara Eka dengan pegawai room service hotel membangunkan Anton dari tidurnya. Anton agak bingung merasa seakan-akan ingatannya hilang sebagian. Lalu dilihatnya Eka dengan troli makanan. Sedikit demi sedikit ingatannya pulih dan akhirnya ia ingat akan semua kejadian kemarin hingga saat ini. 

“Ton, kamu kupesankan nasi goreng untuk sarapan”, ujar Eka sambil buru-buru mengenakan celana jeansnya sementara masih mengenakan piyamanya. Lalu Eka memutar badannya dan mengganti piyamanya dengan kaos putih berkerah. Celana dalam dan BH warna hitam yang dikenakannya sempat terlihat oleh Anton tanpa sengaja. Pemandangan Eka berganti pakaian itu membuat ereksi pagi yang sedang dialami Anton semakin kuat. Segera saja ia turun dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar mandi karena tak ingin malu pada kakak sahabatnya itu. Di kamar mandi ia hanya buang air kecil, membasuh muka dan menyempatkan gosok gigi dengan sikat gigi dalam plastik dari fasilitas kamar hotel.

 “Mbak, sikat gigi hotelnya kupakai”, kata Anton pada Eka yang lagi minum kopi panasnya dengan hati-hati. 

“Nggak apa-apa, aku juga nggak akan memakainya”, jawab Eka. 

“Cepat minum kopimu sebelum keburu dingin, eh kamu suka kopi atau nggak?”, lanjutnya. “Suka malah sudah jadi kebutuhan, Mbak kok repot-repot sih!”, balas Anton sedikit berbasa-basi. 

“Hitung-hitung punya bodyguard yang dibayar pakai sarapan”, canda Eka sambil tersenyum manis pada Anton. Anton pun membalasnya dengan senyuman dan segera menghabiskan sarapan yang telah dipesankan Eka. 

“Omong-omong, mandimu cepat sekali, Tok!”, komentar Eka seusai sarapan.

 “Memang nggak Mbak”, jawab Anton santai. 

“Apa? Kamu nggak mandi.. Uhh.. jorok kamu!”, komentar Eka yang sempat keheranan. 

“Sudah dari dulu Mbak”, kata Anton polos tanpa rasa bersalah. 

“Pantas aja kamu belum dapat pacar!”, olok Eka. 

“Ah, Mbak bisa aja! Saya memang belum usaha cari kok Mbak!”, tangkis Anton. 

“Hmm.. rupanya kamu pinter ngomong juga ya, kukira kamu pendiam”, kata Eka.

 “Soalnya kuperhatikan sejak kemarin, kamu banyak diam”, imbuh Eka. 

“Bukannya gitu Mbak, tapi kenyataannya memang seperti itu”, jawab Anton. 

“Terus kalau sudah usaha, apa kamu yakin dan pasti bisa dapat pacar?”, kejar Eka. 

“Belum, namanya juga usaha, Mbak”, jawab Anton tanpa beban. Eka kemudian berdiri ke depan cermin dan menyisir rambutnya serta melanjutkannya dengan sedikit merias wajahnya.

Sambil memperhatikan Eka, Anton berceloteh, “Mbak meskipun aku belum berusaha cari pacar tapi sudah ada kok cewek yang memperhatikan aku”. Eka hanya melirikkan matanya ke arah Anton sambil tersenyum penuh arti. Senyuman bibir mungil Eka diantara kedua lesung pipitnya membuat Anton terpana sesaat dan salah tingkah. 

“Eh, Mbak.. mm.. saya bisa bertanya sedikit soal Edo?”, kata Anton mengalihkan pembicaraan setelah ia teringat perihal yang lebih serius. 

“Soal apa Ton?”, tanya Eka sambil kembali ke tempat duduknya. 

“Ini soal hutang piutang Edo dengan saya, apa bisa kuutarakan pada bapak dan ibunya Mbak Eka?”, tanya Anton kemudian. 

“Sebaiknya jangan diutarakan hari ini, tunggulah 2-3 hari lagi, biar bapak dan ibu agak tenang dulu”, jawab Eka. Anton hanya mengangguk mendengar penjelasan Eka. 

“Begini saja, kalau kamu memang sedang butuh kira-kira berapa hutang Edo biar kutanggung dulu”, kata Eka agak tegang. 

“Mbak, kalau Edo yang berhutang pada saya, sudah kurelakan sejak kemarin, tapi ini kebalikannya Mbak”, kata Anton. 

“Maksudmu?”, tanya Eka kebingungan. 

Selimut Duka Kenikmatan

“Saya yang masih punya tanggungan pada Edo makanya saya merasa punya beban hutang”, jelas Anton. 

“Kalau begitu sewaktu-waktu kamu bisa mengembalikannya baru kamu ngomong ke bapak dan ibu”, kata Eka kembali tenang. 

“Mbak, ini bentuknya bukan uang tunai”, kata Anton. Melihat Eka yang jadi bingung oleh penjelasannya, Anton menceritakan dengan lebih rinci lagi soal investasi Edo yang dipercayakan padanya.

Dari penjelasan Anton akhirnya Eka mengetahui bahwa Edo memutarkan sebagian tabungannya di pasar saham bersama Anton. Dan sewaktu Edo meninggal sebagian besar investasi Edo masih berbentuk saham yang belum diuangkan didalam account Anton. Dan saat ini Anton sedang tidak tahu apakah investasi Edo tersebut ingin dicairkan atau terus diputar karena si empunya sudah tiada. Tapi akhirnya Eka dapat membantu memberinya saran solusi mengenai hal itu. 

“Sudah lama kamu bermain saham Ton?”, tanya Eka. 

“Hampir 2 tahunan Mbak, tapi Edo baru ikut setelah kerjanya pindah kesini, ya kira-kira 8 bulanan kalau Edo”, jelas Anton. 

“Makanya semalam kamu tahu soal saham, sungguh nggak mengira aku”, kata Eka. 

“Semalam itu sebenarnya saya penasaran dengan perkataan temannya Mbak dan ingin memancing keluarnya informasi baru mengenai saham perusahaan Mbak bekerja kalau memang ada, eh tahunya malah dapat caci-maki”, jawab Anton. 

“Tentu saja Ton, kamu cari informasi dengan orang yang lagi cemburu padamu”, komentar Eka. Anton terbengong mendengar komentar Eka, lalu beranjak dari kursinya untuk menghindar dari subyek yang dikomentari Eka. 

“Mbak, aku pamit pulang dulu ya!”, ujar Anton. 

“Eh, tunggu! Tolong anterin aku ke rumah lagi ya”, kata Eka. 

“Iya Mbak, saya kan sudah dibayar sarapan, jadi ya tidak bisa nolak”, canda Anton sambil menuju ke arah pintu kamar. Eka senang mendengar Anton dapat bergurau dan melupakan kesedihannya tapi juga agak gemas terhadap kata-kata yang dilontarkan Anton karena seperti tak pernah serius.

Setelah menyalakan mesin mobil Anton tak segera melajukan kendaraannya. Ia menyempatkan mengambil hand phone nya dari laci dashboard didepan Eka. Tanpa sengaja tangannya bergeser dengan paha Eka. 

“Oh, maaf Mbak!”, kata Anton. 

“Memangnya kenapa?”, tanya Eka sengaja bergurau. 

“Nggak, eh nggak apa-apa!”, jawab Anton dengan muka agak merah dan segera menyibukkan diri dengan HP nya menunggu mesin mobilnya panas. Eka pun hanya tersenyum melihat Anton salah tingkah. Dalam perjalanan mereka berdua banyak berbincang tentang keadaan kota Surabaya. Mereka berdua juga saling menukar nomer HP masing-masing.

Sesampai dirumah orang tua Eka, Anton langsung melajukan mobilnya kembali tanpa mampir. Di rumahnya yang sedang ramai dikunjungi oleh sanak famili keluarganya, Eka kembali disibukkan oleh kesibukan-kesibukan yang berhubungan dengan meninggalnya seseorang. Di sela-sela kesibukannya ia sempat menanyakan perihal Anton pada adik-adiknya. Rupanya tak hanya Edo yang mengenal Anton tapi adik-adiknya yang lain juga karena ia memperoleh informasi lebih banyak yang ia perkirakan. 3 Hari Kemudian Anton sedang bercakap-cakap dengan kedua orang tua Edo, ketika Eka datang bersama Edi adiknya, dengan membawa bungkusan makanan.

“Ton, kamu kok tahu kalau ada makanan enak”, ujar Eka. 

“Ayo Mas kita santap bersama makanan ini”, imbuh Edi. Belum sempat Anton berkomentar, Edwin si bungsu keluar dari kamarnya sambil berteriak, 

“Kok lama sih kak, sudah lapar nih!”. 

“Ah kamu bisanya ngomel melulu, antrinya nih bikin kaki capek”, hardik Eka tak dihiraukan Edwin karena sudah berlari menyusul Edi ke ruang makan.

Tak mau ketinggalan Anton pun langsung menyusul Edi dan Edwin meninggalkan sopan santunnya pada kedua orang tua sahabatnya. Ayah dan ibunya Edo menyambut hal itu dengan bahagia karena kesedihan keluarga sepeninggal Edo berangsur-angsur surut. Sewaktu Eka melangkahkan kaki ke ruang makan, Ayahnya memanggilnya. 

“Ini Ka, tadi Anton menyerahkan ini tapi ayah masih belum mengerti meski Anton sudah menerangkannya tadi”, kata ayahnya sambil menunjukkan cek dan beberapa lembar catatan. “Iya Ka, darimana sih kok Edo bisa dapat banyak uang?”, lanjut ibunya. Eka pun menerangkan dengan bahasanya hingga kedua orang tuanya mengerti. Setelah agak mengerti, ibunya berkomentar, 

“Edo tak pernah cerita soal ini pada siapapun, beruntung ia punya sahabat seperti Anton”. Komentar itu diiyakan oleh ayahnya dan wajah Eka yang berbinar haru. Ramainya ruang makan terdengar hingga ruang tengah dan mengingatkan Eka pada makanan yang dibelinya. Bergegas ia pun bergabung dengan 3 pemuda yang sedang melahap makan malam sambil bersenda gurau. 

“Awas kalian kalau sampai aku nggak kebagian”, ancam Eka. Anton, Edi dan Edwin saling menyalahkan dan mengolok yang makannya banyak. Ketiga pemuda itu telah menyelesaikan makannya ketika Eka mengambil lauk pauk yang ada di meja. 

“Sudah Kak, meski ada Mas Anton nggak usah malu-malu, ambil aja yang banyak seperti biasanya”, goda adiknya Edwin. 

“Iya, kemarin bisa menghabiskan 3 potong, masa sekarang cuman satu”, timpal Edi. 

“Makanya kakakmu belum dapat jodoh, rupanya calon-calonnya takut nggak bisa memberi jatah”, tambah Anton yang langsung disambut tawa oleh Edi dan Edwin. Eka berusaha menahan emosinya dengan wajah bersungut dan diam seribu bahasa. 

“Ngambek nih ye!”, goda Edi. 

“Marah, ya?”, imbuh Edwin.

 “Eh, kalian kesini sebentar!”, ajak Anton pada Edi dan Edwin agar duduk mendekat disampingnya.

 “Coba lihat, wajah kakakmu, kalau lagi ngambek gitu tambah cakep ya, tapi kenapa jodohnya pada lari ya!”, kata Anton sambil tertawa diikuti Edi dan Edwin. Mendengar kata-kata Anton, Eka pun tak kuasa menahan amarahnya. Ia langsung berdiri memegang piring kosong yang ada disampingnya.

Ketiga pemuda yang ada didepannya segera saja lari ketakutan dan berhamburan dari ruang makan. Dan Eka pun kembali duduk untuk melanjutkan makannya karena memang dia hanya berniat menggertak saja. Sesaat kemudian ayah dan ibunya ikut duduk di meja makan. 

“Kamu apakan mereka sampai pada lari keluar rumah?”, tanya ayahnya pada Eka. 

“Uhh.. itu Yah, Edi dan Edwin kompak banget sama Anton menggoda aku”, keluh Eka. 

“Mereka kan sudah kumpul lama jadi wajar kalau kompak, kamu sih jarang pulang!”, kata ayahnya. 

“Kok aku yang salah, mereka itu yang kekanak-kanak-an”, tangkis Eka. 

“Mereka kalau sudah kumpul memang gitu, Edo yang mau nikah pun juga gitu kalau sudah kumpul dengan Anton”, kata ibunya. Dalam hati, Eka tertawa dengan kelakuannya sendiri. Ia merasa menjadi muda kembali ketika bergurau dengan adik-adiknya dan Anton. Sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan selama sibuk bekerja di Jakarta yang selalu menuntut kedewasaannya. Keberadaan Anton juga memberi suasana baru dalam hatinya, sayangnya hal itu baru muncul sepeninggal Edo. Ketertarikannya pada Anton semakin bertambah walau tanpa rayuan. Sebaliknya ia malah lebih sering mendapat gurauan lugu nan cerdik tanpa dibuat-buat setiap kali berbincang dengannya pada tiap kali temu dalam 2 hari ini. Tak jarang pula ia menerima godaan kekanak-kanak-an dari Anton. Semua itu cukup mengusik emosinya pada daya tarik Anton yang aneh dan belum pernah ia jumpai pada pria-pria yang dikenalnya. Dari pengetahuan dan pengalamannya, Eka tahu bahwa Anton memiliki wawasan yang luas dan sangat dalam di beberapa bagian.

Ia juga tahu bahwa Anton memiliki pola pikir mirip seperti teman-teman dan bos-bosnya yang bule walau tak sepenuhnya meninggalkan adat istiadatnya. Cara berpikir Anton juga cenderung praktis, dewasa dan bijak. Sikap skeptis pada sekelilingnya sangat kuat membuatnya selalu cepat merespon keadaan sekeliling. Satu hal yang membuat Eka penasaran adalah kenapa Anton terlihat seperti menyembunyikan sifat-sifat positifnya dibalik sifat-sifat kekanak-kanak-annya. Eka memperkirakan ada sesuatu yang ditakuti oleh Anton. Sebuah dering HP nya membuyarkan lamunan Eka. Setelah berbincang lama ia menutup pembicaraan dengan rasa kecewa telah mengangkat panggilan telepon dari pimpinannya tadi. Setelah berbincang sebentar dengan kedua orang tuanya, ia pun bergegas masuk kamar dan mengemasi pakaiannya.

Sementara itu ayahnya memanggil Anton, Edi dan Edwin yang masih ngobrol dan merokok di teras rumah. 

“Eh, kakak masa ngambek sampai keburu balik malam-malam begini?”, tanya Edwin pada Eka yang dilihatnya sudah siap-siap bepergian. Raut muka Edi dan Anton pun juga kaget dan tegang merasa bersalah pada Eka. Apalagi Eka tak kunjung membuka mulut. Hal ini disengaja Eka untuk membalas godaan yang dialaminya tadi. 

“Mbak maafin kami deh, kami memang keterlaluan menggodanya tadi”, ujar Anton. 

“Iya memang kalian keterlaluan, sorry ya tak ada maaf bagi kalian”, jawab Eka. 

“Udah Ka, jangan bercanda lagi, ini udah malam, Malang itu nggak dekat apalagi malam begini”, kata ibunya. Walau masih bingung tapi ketiga pemuda itu sudah merasa kalau dikerjai Eka yang sekarang lagi menahan tawanya. 

“Rupanya kalian juga berat ya kutinggal”, ejek Eka pada adik-adiknya dan Anton. 

“Jelas dong adikmu merasa berat karena nggak ada lagi yang membelikan makanan lezat”, kata Anton spontan. 

“Heh, Mas Anton juga ikut makan gitu lho”, kilah Edi.

 “Tapi itu kan sedikit, cuman ngicipin doang”, balas Anton.

“Enak aja, Mas Anton habis 2 piring kok bilang cuman ngincipin doang”, sergah Edwin. Perang mulutpun terjadi antara Anton, Edi dan Edwin. Eka melihat pemandangan itu sambil tersenyum. “Eh, sudah-sudah! Kalian kok seperti anak kecil saja, ini sudah malam”, bentak ayah Eka membuat semuanya terdiam. 

“Siapa yang bisa mengantar aku malam ini?”, tanya Eka sambil berharap Anton bisa. 

“Yuk, kita antar kakakmu ke Malang, kita bisa menghirup udara pegunungan”, ajak Anton pada dua bersaudara itu. Tapi Edi dan Edwin beralasan dengan kesibukannya masing-masing sehingga hanya Anton yang terlihat bisa. Satu jam berselang, Anton dan Eka telah berkendaraan di jalanan luar kota Surabaya-Malang. Anton melajukan kendaraannya dengan santai.

Berdua mereka menembus kegelapan malam sambil bercakap soal berbagai hal ringan. Setiap hal yang mereka bicarakan selalu berkepanjangan seakan mereka berdua memperoleh lawan bicara yang cocok. Diselingi canda dan tawa, mereka berdua merasakan saat-saat yang tak akan mudah mereka lupakan. Waktu mendekati pukul 12 tengah malam ketika mereka berdua sampai ditempat tujuan. Di sebuah pelataran hotel berbintang 1 yang mereka masuki telah menunggu 2 orang kolega Eka. Anton menolak turun dari mobil ketika diajak Eka karena dia merasa tak ada kepentingan dengan urusan perusahaan Eka. Tak lama setelah Eka masuk ke lobby hotel, ia kembali ketempat Anton memarkir kendaraannya. 

“Ton, kamu tidur di kamar ini ya, aku langsung rapat sampai pagi dan mungkin baru bisa ketemu kamu lagi besok agak siang karena setelah rapat langsung menuju ke perkebunan”, kata Eka sambil menyerahkan sebuah kunci kamar hotel. Anton segera bergegas turun dari mobilnya dan masuk kedalam hotel mencari kamar yang nomernya tertera di gantungan kunci yang dipegangnya. Dalam perjalanannya menuju kamarnya, Anton sempat berjalan bersama-sama Eka sebelum akhirnya berpisah di lobby.

Dalam kesempatan itu, Anton menyempatkan curi-curi pandang ke arah Eka. Wanita berparas manis dengan rambut hitam lurus sebahu yang berada selangkah didepannya itu membuat hati Anton gusar. Sebuah perasaan yang telah terpupuk di hati Anton makin tak kuasa ia hindari. Panah asmara yang menembus hatinya ikut menyertai dinginnya kota Malang yang menembus jaketnya. Tertegun didepan sebuah acara TV yang ramai, pandangan Anton masih kosong dan hanya terisi oleh bayang-bayang wanita berwajah lonjong agak oval dengan alis tebal, mata bersinar, berhidung mancung, berlesung pipit dan berbibir mungil.

Bayang-bayang itu tak lain adalah Eka. Pikirannya berusaha berontak dan menaklukkan hatinya, tapi semua itu sia-sia belaka. Hanya rasa kantuk akibat lelah yang akhirnya menyapu kesadarannya hingga pulas. Sendiri di dalam kamar, membuat Anton bermalas-malasan semenjak bangun. Bosan didalam ia pun keluar dan berjalan-jalan disekitar hotel setelah membasuh muka. Setelah sarapan dengan menu makan pagi yang telah disediakan hotel secara gratis, Anton duduk-duduk di lobby sambil merokok dan membaca koran. Merasa puas, ia pun kembali ke kamarnya untuk melanjutkan bermalas-malasan. Tak terasa waktu berjalan sangat cepat.

Eka kembali dengan raut muka terlihat lelah dan langsung membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Melihat Eka yang capek, Anton membantu melepaskan sepatu yang masih dikenakan Eka. “Urusannya bagaimana Mbak?”, tanya Anton yang hanya dijawab Eka dengan kata “beres”. 

“Jam berapa Mbak kita bisa pulang?”, tanya Anton lagi. 

“Santai Ton, aku masih capek!”, jawab Eka sambil melelapkan matanya. Anton lalu duduk di kursi yang tak berjauhan dengan tempat tidur dan memandangi Eka yang terbaring dengan lemas. Meski matanya menutup tapi hati Eka merasakan seseorang sedang memperhatikannya. Matanya terbuka dan melihat Anton yang masih duduk memperhatikan dirinya. 

“Ton, kamu kok duduk disitu, takut ya dekat denganku? Ayo sini kalau berani!”, tantang Eka dengan nada manja. Mendengar tantangan itu, Anton memberanikan diri berbaring disamping Eka yang masih telentang diatas tempat tidur. 

“Hii.. dingin ya disini”, sebuah kalimat meluncur dari bibir Eka sambil memeluk tubuh Anton. Anton hanya diam bagai guling yang bernapas. Sedikit demi sedikit kedua kepala mereka berdekatan dan saling bersentuhan.

Eka memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka, menunggu reaksi Anton. Tapi Anton hanya memandang saja wajah Eka. 

“Ada apa Ton?”, tanya Eka berbisik setelah membuka kembali matanya. 

“Mbak cakep sekali”, jawab Anton dengan pandangan mata beradu dengan Eka. Perasaan Eka bergetar bagai lonceng yang berdentang membawa bibir mungilnya menempel pada bibir Anton. Tanpa aba-aba, Anton melumat lembut bibir Eka. Gelombang asmara menyapu rasio mereka berdua. Kuluman demi kuluman datang silih berganti baik dari Anton maupun Eka. Pertautan dua bibir menghasilkan pergumulan lidah dalam kurungan asmara dan nafsu. Sebuah persamaan yang tidak ada bandingannya dengan rumusan matematis yang ada sampai saat ini. Saling memeluk masing-masing tubuh terjadi tanpa mereka sadari. Gesekan tubuh dengan tubuh terasa nikmat bagai buaian mimpi walau masih terhalang oleh pakaian yang masih dikenakan. Irama halus yang menjadi awal berubah seiring dengan tindih menindih yang saling mereka lakukan pada satu sama lainnya.

Rotasi posisi mereka lakukan sambil berciuman bibir tanpa ada habisnya. Sesaat kemudian, Eka menghentikan ciumannya pada bibir Anton. Berpandangan mata dengan penuh arti, tangan Eka melepas kancing dan membuka resleting celana Anton. Anton mereaksinya dengan membuka kancing kemeja Eka dengan pelan. Satu persatu pakaian mereka berjatuhan dari tempat tidur. Duduk berhadap-hadapan, mereka saling memandang tubuh bugil masing-masing. Lekuk-lekuk tubuh yang ada didepan satu sama lainnya merasuki pikiran mereka dan mengundang selera Anton dan Eka. Benak mereka terisi dengan rasa bahagia akan kenikmatan yang akan segera mereka rengkuh. Waktupun terasa berhenti bagi keduanya. Api cinta menyulut asmara dan mengobarkan nafsu yang telah sampai diubun-ubun Anton dan Eka. Embun duka telah mengering dan tak mampu lagi memadamkan apa yang akan terjadi. Titik kritis dimana perbuatan ini masih dapat dicegah telah mereka lewati. Yang tersisa saat ini hanyalah lampu hijau traffic light yang takkan padam walau putus kabelnya.

Pelan tapi pasti, Anton dan Eka merapatkan tubuhnya. Sambil duduk beradu pandang, mereka berdua mengusap lembut bagian tubuh masing-masing. Bibir Eka makin terbuka mengeluarkan desahan-desahan pendek ketika usapan tangan Anton melewati daerah kemaluannya yang telah basah. Eka pun segera membelai batang kemaluan Anton dengan perasaan. Lalu.. Merangkul dalam pelukan masing-masing, menghantarkan hangat di tubuh pada lawannya. Kelembutan kulit Eka menyentuh kulit berbulu milik Anton. Pelan-pelan Eka naik keatas pangkuan Anton. Tangan Eka merarangkul bagian belakan leher Anton. Sedangkan Anton memegang punggung Eka dan mengusapkan tangannya naik turun. Keduanya beradu ciuman kembali dengan sangat-sangat mesra dan dekat. Tiba-tiba Eka melepaskan bibirnya dari bibir Anton sambil mendesah panjang, “Ahh..”.

Batang kemaluan Anton yang tengah mendongkak keatas terselip masuk kedalam liang kenikmatan Eka. Ciuman Anton mendarat di leher Eka membuat ia tak kuasa untuk segera menurunkan tubuhnya dan membenamkan seluruh batang kemaluan Anton kedalam lobang kenikmatannya. Eka pun mendesah makin keras dan makin panjang, “Aaahh..”. Lepas pulalah kecupan nikmat bibir Anton pada leher Eka. Mata Eka yang sedang terpejam membelalak menatap pandang mata Anton. Pandangan Eka bagai menembus kalbu Anton. Daya tarik keduanya sudah seperti 2 magnet yang beda kutub. Bibir menganga Eka disambut dengan kuluman bibir juga Anton. Sedikit demi sedikit Eka menggerakkan tubuhnya keatas kebawah di pangkuan Anton. Gerakan pelan Eka sesekali membuat ciumannya terlepas dari bibir Anton dan berlanjut dengan adu pandang. Dua tubuh saling menempel dan bergesek. Dua nafas saling bersambung. Kulit bertemu kulit. Dada Anton bagai dibelai payudara Eka yang menegang. Belaian punting Eka yang mengeras menyentuh puntingnya.

Belaian yang lain daripada yang lain. Irama gerakan naik-turun Eka terus berlanjut walau pelan. “Ohh Mbak.. ohh..”, ucap Anton dalam kenikmatan dengan mata berkejap-kejap. Eka makin mempererat dekapannya dan berbisik pada telinga Anton, 

“Ton, aaku mauu..”. Tapi belum tuntas kalimatnya, Eka sudah mengejang hebat tak kuasa menahan tumpahan kenikmatan dalam perasaannya yang terdalam. Seakan mengerti apa kelanjutan kalimat Eka, Anton membalas bisikan dengan bisikannya tepat ditelinga Eka, “Lepaskan Mbaak, ohh..”. “Ahh..”, desah Eka tak bergerak lagi serta bergelinjang dalam kehangatan dekapan Anton. Dinding-dinding liang kenikmatan Eka terasa berdenyut mengantarkan tumpahan kebahagiannya. Cairan orgasme Eka yang membasahi batang kemaluannya, dirasakan Anton bagai guyuran gelombang asmara. Sesaat kemudian mereka berdua tak bergerak maupun bersuara. Masih dalam dekapan Anton, Eka lemas diatas pangkuan Anton sambil terpejam. Eka membelai rambut Anton dengan rasa kasih sayang. Anton pun membalasnya dengan kecupan dalam di pangkal leher Eka. Masih tegak bertopi baja bagai tentara siap perang dalam kegelapan, batang kemaluan Anton tak kunjung keluar dari liang kenikmatan Eka. Dengan segenap tenaganya, Anton mengangkat lalu membaringkan tubuh Eka. Menindih diatas tubuh Eka, Anton memandangi kecantikan wajah Eka yang makin mempesonanya. Tak kuasa menahan gejolak jiwanya, Anton kembali melayangkan ciumannya pada bibir Eka. Pertautan lidah kembali terjadi walau sesaat. Bergerak pelan dan penuh perasaan, ia menggerakkan pinggulnya naik-turun maju-mundur. Kaki-kaki Eka yang semula terlempang lemas, kemudian mengapit kaki-kaki Anton yang tengah berada diantaranya. Anton terus menggerakkan pinggulnya dengan irama yang menghanyutkan. Membawa dirinya bersama Eka meniti tangga gairah menuju puncak kenikmatan. Tangan-tangan Eka menggapai bantal dan seprei yang ada disekelilingnya. Menggegamnya erat-erat seakan menahan sesuatu yang tak ingin ia lepaskan lebih dahulu. Diiringi dengan desahan-desahan menggairahkan yang jujur nan polos tak dibuat-buat. Pendakian bersama akhirnya mencapai tujuannya. Gerakan Anton terhenti tiba-tiba dengan tubuh yang menegang. Didalam liang kenikmatang Eka yang paling dalam, batangnya bergemuruh hebat.

Berdenyut tiada henti disambut dengan cengkeraman dinding liang. Kehangatannya melumuri permukaan dinding, memicu sambutan selanjutnya. Melepas semua yang telah ia tahan sejak tadi, Eka melenguh dalam kenikmatan, “Ooaah..”. Tubuhnya bergelinjang dalam dekapan Anton. Waktu seakan berhenti ketika denyut dan aliran kenikmatan mereka bersatu padu. Ledakan nafsu asmara menyisakan bara kasih yang membahana didalam 2 jiwa yang sedang berdekapan. Kecupan bibir Anton pada kening Eka menjalankan kembali alur waktu yang telah terhenti beberapa saat. Lalu ia beranjak dari tindihannya pada tubuh Eka dan berbaring disampingnya. Keduanya merasa lemas seakan tak ada lagi sisa tenaga yang mampu mereka keluarkan kecuali mendekapkan diri satu sama lain dibawah kehangatan selimut. Dan tertidur pulas hingga sore. Dalam perjalanan pulang, mereka berdua hampir tak mengeluarkan suara. Sikap Anton berubah dingin dan Eka juga tak mengerti apa yang harus diperbuat menanggapi sikap Anton tersebut. Walau berbagai usaha mengajak bicara yang dilakukan Eka pada Anton selalu dijawab dengan hanya beberapa patah kata tapi ia tetap merasa bahwa Anton adalah pria idamannya.

Sesampai di depan rumah keluarga Eka, Anton menurunkannya dan hanya mengucapkan kata perpisahan pendek lalu tancap gas pulang. Diatas ranjangnya, Anton bersiap untuk tidur. Tapi aktivitas yang biasa ia lakukan dengan mudah itu terasa sulit dilakukan saat ini. Pikirannya berkecamuk, bingung dan ragu akan apa yang harus dilakukannya selanjutnya. Disatu sisi ia menyesal telah melakukan permainan cinta dengan Eka dan merasa mengkhianati sahabatnya Edo. Tapi disisi yang lain ia menyesal telah bersikap dingin pada Eka, kakak Edo. Anton merasakan kecocokan ketika berhubungan dengan Eka. Tak hanya oleh parasnya yang selalu mempesona dirinya tapi juga oleh semua sikapnya yang mampu merebut simpatinya. Hatinya seakan berat melepas Eka tapi wanita yang ada dalam hatinya itu adalah kakak sahabatnya yang telah meninggal. Dalam benaknya, ia merasa harus memposisikan Eka bukan sebagai kekasih tapi sebagai kakaknya. 2 Hari Kemudian Telah 2 hari Eka berusaha menghubungi Anton setiap ada waktu tapi selalu gagal. Telepon dan SMS nya tak pernah memperoleh jawaban dari Anton. Ia benar-benar tak mengerti atas sikap Anton yang telah berubah sepulangnya dari Malang. Yang ia inginkan saat ini adalah bertemu dengannya dan berbicara dengan Anton, karena besok pagi ia harus balik ke Jakarta. Rasa penasarannya membawanya menuju kamar adiknya, Edi. “Ed, tumben ya Anton nggak pernah kesini lagi?”, tanya Eka pada Edi yang mengerjakan tugas kampus. 

“Tadi aku ketemu”, jawab Edi. 

“Di sini?”, tanya Eka. 

“Nggak, di rumahnya sewaktu aku pinjam bukunya”, jawab Edi 

“Memangnya ada perlu apa kak sama Mas Anton?”, lanjut Edi. Eka hanya menggelengkan kepala. 

“Kangen ya, hehehe..”, goda Edi pada kakaknya. Eka hanya bisa cemberut dengan wajah yang agak merah.

“Mas Anton itu orangnya aneh ya kak?”, kata Edi pada Eka kemudian. 

“Aneh gimana maksudmu?”, tanya Eka tidak mengerti. 

“Dia sepertinya lebih senang sendiri daripada punya pacar, pergaulannya juga kurang, tapi kalau kita sudah berteman dan mengenalnya, rasanya sulit untuk melepaskannya”, jelas Edi. “Lalu, anehnya dimana?”, tanya Eka penasaran. 

“Kak, umurku jauh lebih muda dari Mas Anton, jelek-jelek begini apalagi cuma bermodal dengkul, aku sudah gonta-ganti pacar sampai 5 kali, Mas Anton belum satu pun”, jawab Edi sedikit menyombongkan diri. 

“Hmm.. Kamu yang keterlaluan dan layak disebut playboy kampungan”, kata Eka meledek adiknya, tapi yang diledek malah tertawa cekikikan. 

“Eh Ed, cewek macam apa sih yang dicari Anton”, tanya Eka. Edi tak langsung menjawab tapi memandangi kakaknya dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, 

“Jelas, jelas bukan yang dicari, huahaha..”. 

“Apa kamu bilang? Aku kurang cakep ya? terlalu tua ya?”, tanya Eka nerocos. 

“Kak, kak aku cuman bercanda, kakak memang cakep dan masih muda kok, tapi..”, jawab Edi tergesa-gesa tapi ragu untuk melanjutkannya. 

“Tapi apa?”, buru Eka. 

“Tapi kakak ada hubungan saudara dengan almarhum kak Edo”, jawab Edi. Kakak beradik itu lalu terdiam sesaat.

 “Apa hubungannya Ed?”, tanya Eka.

 “Saya pernah mencuri dengar bahwa Mas Anton punya prinsip kalau ia tak akan mengencani saudara ataupun relatif sahabatnya walaupun cakep, alasannya bisa merusak persahabatan”, kata Edi. Eka hanya terdiam mendengar penjelasan itu.

Ia mulai mengerti arti sikap Anton saat ini. Eka melangkahakan kakinya keluar dari kamar Edi. Tiba-tiba sebuah bunyi SMS masuk dari HP nya Edi. “Wow, Mas Anton sakti sekali, baru di bicarakan sudah SMS aku”, kata Edi. Eka menghentikan langkahnya dan menunggu reaksi Edi atas SMS Anton. 

“Aduh! sayang sekali, Mas Anton ngajak kok pas lagi banyak tugas gini, terpaksa dilewatkan nih”, kata Edi dengan raut menyesal dan sibuk menjawab SMS. 

“Emangnya, ngajak apa si Anton?”, tanya Eka. 

“Ngajak latihan main game Counter-Strike dirumahnya yang lagi sepi”, jawab Edi. 1 Jam Kemudian Di Rumah Anton Bel rumah keluarga Anton berbunyi dan mengagetkan Anton yang lagi asyik nonton acara TV. 

“Siapa sih malam-malam gini?”, pikir Anton dalam hati. Dengan enggan ia menuju kedepan rumah.

Lalu ia bergegas membukakan pintu setelah dipikirnya Edi yang datang walau SMS dari nya mengatakan sebaliknya. 

“Paling SMSnya cuman bercanda saja”, dalam benak Anton. Kagetnya bukan kepalang setelah dilhatnya yang datang adalah Eka bukan Edi. Anton sempat tertegun tak bergerak membiarkan Eka yang masih berdiri di depan pintu pagar rumahnya. 

“Aku boleh masuk nggak nih?”, tanya Eka dengan nada canda. 

“Sorry-sorry Mbak!”, kata Anton dengan tergopoh-gopoh. Lalu Anton membukakan pintu dan menyilakan Eka masuk. 

“Sepi sekali Tok rumahmu, sendirian?”, tanya Eka. 

“Eh, iya Mbak, keluarga lagi keluar kota semua, pembantu juga pulang”, jawab Anton. Eka berkeliling dirumah Anton yang luas dan melihat-lihat tempat nongkrongnya adik-adiknya terutama Edo. Setelah puas berkeliling, Eka duduk di sofa ruang tengah.

 “Ada perlu apa Mbak kesini?”, tanya Anton tanpa basa-basi. 

“Eh, jahat sekali kamu, masa cuma adik-adikku yang boleh main kesini?”, tanya Eka. “Bukannya jahat gitu Mbak, tapi Mbak kok berani kesini sendirian”, kata Anton. 

“Apa yang perlu kutakutkan?”, tanya Eka tegas. 

“Nggak ada, malah aku yang takut, hehehe..”, jawab Anton dengan bergurau.

 “Sejak dari Malang kenapa kamu nggak mau jawab HP dan SMS ku?”, tanya Eka. Anton tertunduk malu mendengar pertanyaan itu. 

“Ton, aku tidak menuntut pertanggung jawaban, aku hanya butuh penjelasan darimu”, kata Eka. “Kita sama-sama dewasa dan aku bisa mengerti kalau kamu hanya menganggap yang kita lakukan adalah sex”, lanjut Eka semakin blak-blakan. Anton menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, “Bukan Mbak, bukan hanya sex tapi lebih dari itu, dan itulah penyebab perubahan sikap saya. Saya memang sengaja menjauh dari Mbak, bukan karena saya tidak suka tapi sebaliknya, saya suka sekali dengan Mbak. Mmm.. Saya mencintai Mbak Eka..”. Kata-kata terakhir Anton menggetarkan hati Eka, membuatnya tak mampu mengucapkan sepatah kata.

Eka hanya diam dan memandang Anton, menunggu dan menunggu. “Kalau Mbak hanya menganggap yang kita lakukan hanyalah sex semata, saya bisa mengerti. Maaf Mbak, sebenarnya saya tahu saya tak pantas mengutarakan cinta pada Mbak. Apapun tanggapan Mbak terhadap saya, saya akan menerimanya. Mbak jangan kasihan pada saya”, lanjut Anton. Eka mendehem mencoba dapat bersuara kembali, lalu berkata, “Aku nggak mengerti sama kamu Ton? Biasanya bila pria menyukai wanita, ia akan mengejarnya bukan sebaliknya, apalagi menghindar. Kenapa kamu menghindar dariku?”. 

“Supaya saya dapat melupakan perasaan saya pada Mbak Eka”, jawab Anton. 

“Kenapa? Apa karena aku saudaranya sahabatmu?”, tanya Eka. Anton terkejut dengan dugaan Eka yang benar. Ia hanya menganggukkan kepalanya. 

“Sekarang sahabatmu, adikku Edo sudah tiada, apa kamu masih ingin melupakan perasaanmu padaku?”, tanya Eka lagi. 

“Edo memang sudah meninggal, jazadnya memang sudah tiada, tapi ia masih ada di pikiranku sampai akhir hayatku”, jawab Anton. Sebuah jawaban yang membuat haru hati Eka. “Selanjutnya apa mau mu, Ton?”, tanya Eka. Anton hanya geleng kepala dan mengangkat pundaknya.

Keduanya terdiam dan saling memandang. Dengan ragu Anton bertanya, “Mbak Eka, sebenarnya ada perasaan sama aku atau nggak?”. Pipi Eka merona dan tersenyum mendekat kearah Anton. 

“Menurutmu bagaimana?”, bisik Eka dengan manja. 

“Mbak Eka cuma merasa kasihan saja padaku karena masih jomblo, tak lebih dari itu”, jawab Anton polos tak mengerti maksud dibalik pertanyaan Eka. Senyum Eka berubah jadi cemberut dan berkata, “Huh, teganya kamu ngomong gitu!”. Kali ini Anton jadi bingung dengan sikap Eka. “Jadi, jadi..”, kata Anton tak mampu melanjutkan kata-katanya karena mulai mengerti maksud Eka. “Jadi apa? ha..”, tanya Eka dengan nada menantang sambil mendekatkan wajahnya di dekat wajah Anton. Mendengar nada Eka, Anton merasa apa yang tadi dimengertinya salah. Ia pun lalu menunduk lemas.

Dua tangan Eka memegang dan mendongkakkan wajah Anton hingga memandang wajahnya. “Ton, kamu terlalu polos”, kata Eka. Belum sempat Anton menanggapinya, bibirnya telah dilumat oleh bibir Eka. Karena agak kaget, Anton bergerak mundur. Tapi Eka mengikutinya dengan merangsek maju, makin mendekat hingga tubuhnya condong ke tubuh Anton. Ciuman Eka dibibirnya, sempat membuat Anton bingung, tapi akhirnya ia pun meresponnya. Tiba-tiba Eka menghentikan ciumannya dan berkata, “Aku takkan melakukan hal itu pada sembarang pria.

Saat ini mungkin kita belum dapat menjadi kekasih. Tapi apakah kita juga harus berhenti menjadi teman akrab?”, tanya Eka. 

“Saya selalu menganggap Mbak Eka lebih dari teman akrab meskipun bukan kekasih”, jawab Anton. 

“Kalau begitu beres kan urusan kita?”, tanya Eka dengan senyum manisnya. Anton mengangguk tanda setuju. Mereka berdua lalu duduk berdampingan dengan santai diatas sofa ruang tengah. Lalu Eka mengeluarkan sebuah permintaan, 

“Ton, besok aku balik ke Jakarta. Sebagai teman akrab masa kamu tidak memberiku sesuatu”. “Saya mau memberi kejutan, tapi Mbak Eka harus memejamkan mata dulu”, kata Anton. Permintaan Anton dituruti oleh Eka. Dengan mata terpejam, Eka merasakan bibirnya memperoleh ciuman basah dari Anton. Sebuah sentuhan hangat telapak tangan ia rasakan mengusap payudaranya. Jiwanya seakan terbang ke awang-awang. Sekujur tubuhnya terasa bergairah kembali. Ciuman bibir basah Anton bergerak ke arah leher lalu turun ke arah payudara Eka. Eka heran dengan kecepatan dan kelihaian Anton membuka kancing kemejanya serta melepas BHnya tanpa ia sadari.

Keheranannya sirna karena jalan pikiran Eka telah terbuntu oleh rasa nikmat yang ia rasakan. Dengan mata masih terpejam, Eka dapat merasakan kedua payudaranya memperoleh kuluman nikmat secara bergantian. Tangan-tangan Anton bergerak lagi, membuka kancing dan resleting celana jeans Eka. Lalu mengusap-usap celana dalam Eka tepat di daerah kemaluannya. Eka mengeluarkan desahan pertamanya, “Ahh.. Oh.. Ton, lepaskan sekalian, ahh..”. Tanpa kesulitan Anton telah melepaskan celana jeans dan celana dalam Eka secara bersamaan karena Eka sudah mengangkat pantatnya. Mata Eka terbelalak ketika ciuman bibir basah Anton telah mencapai liang kenikmatannya. “Ahh..”, Desah panjang nan dalam membahana di ruang tengah yang luas nan sepi. Sesekali lidah Anton menjulur-julur kedalam liang kenikmatan Eka menyelingi kuluman yang dibuat oleh bibirnya. Tak lama kemudian, Eka mengerang, menarik kepala Anton dengan tangannya dan menjepitnya dengan kedua kakinya. Tubuhnya mengejang dan akhirnya menggelinjang. “Oh, kamu nakal banget Ton”, kata Eka manja dan tersenyum puas.

Cerita sex : Nadia Si Karyawan Baru

“Itu tadi belum masuk kategori nakal Mbak! Apa Mbak ingin tahu kategori nakal?”, tanya Anton. Eka hanya tersenyum dan mengangguk agak penasaran. Anton langsung melayangkan ciuman di bibir Eka setelah mendapat anggukan dari Eka. Sesaat kemudian Anton telah melepaskan semua celananya sambil tetap memberi ciuman bibir pada Eka. Anton merebahkan Eka di sofa dan segera menindih serta menyetubuhinya. Aksi tiba-tiba yang dilakukan Anton membuat Eka terkejut dalam kenikmatan tingkat tinggi. Anton melepas ciumannya dan menegakkan tubuhnya untuk membuat dorongan maju mandur yang makin lama makin cepat sambil memegang kedua kaki Eka. “Ahh.. ahh.. Tok.. oh..”, desah Eka. Anton melepas pegangan pada kaki Eka dan segera memeluk tubuhnya. Kedua tubuh yang saling bercengkerama itu sama-sama mengejang. Akhirnya Anton dan Eka melepas muatan nafsu asmara yang telah mereka tahan. Kenikmatan dan kepuasan mereka raih bersama-sama dalam selimut duka yang telah menyatukan mereka berdua.

Bagikan ke yang lainnya
Telegram
Tutup
Tutup